Apakah upacara perkawinan secara agamawi mutlak adalah perlu?

Pada awal sejarah bangsa Yahudi (seperti diceritakan oleh kitab-kitab suci mereka) dianggap perlu bahwa seorang imam atau rabi harus melaksanakan upacara pernikahan, sementara pertanyaan-pertanyaan agamawi yang penting diajukan kepada pasangan mempelai, ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang mengerti. Dalam abad-abad yang pertama (A.D.) perkawinan-perkawinan Kristen dilakukan secara khidmat oleh para rohaniwan atau imam, tetapi ada banyak perkecualian. Tidak ada bentuk yang ditetapkan, dan upacara-upacara di hadapan umum tampaknya tidak dianggap penting oleh orang Kristen mula-mula. Para pendeta tidak menyimpan catatan mengenai perkawinan mula-mula yang mereka laksanakan. Upacara-upacara perkawinan yang tidak diselenggarakan (diteguhkan) oleh gembala-gembala sidang atau pendeta-pendeta yang secara teratur ditahbiskan untuk upacara keagamaan, atau oleh pejabat berwenang dalam perkawinan sipil, dianggap tidak resmi dan tidak diakui oleh pengadilan maupun masyarakat. Upacara-upacara seperti itu jika dilaksanakan secara tidak khidmat, akan menjadi olok-olok terhadap peraturan sakral. Tidak ada orang Kristen yang ikut serta dalam kebodohan seperti itu. "Perkawinan-perkawinan olok-olok biasanya menimbulkan banyak keburukan (kerugian) bagi semua orang yang bersangkutan, dan pernikahan yang tidak khidmat dan tidak resmi, biasanya membuat istri dalam kekuasaan orang yang seharusnya memulai hubungan baru dengan cara mengelilinginya dengan pengawalan dan perlindungan yang terhormat.




Artikel yang terkait dengan Matius:


TIP #08: Klik ikon untuk memisahkan teks alkitab dan catatan secara horisontal atau vertikal. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA