Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 >  ANALISIS KRITIS TERHADAP PANDANGAN PAUL KNITTER MENGENAI PLURALISME AGAMA YANG UNITIF > 
ANALISIS KRITIS TERHADAP PLURALISME AGAMA YANG UNITIF 

A. Analisis Terhadap Latar Belakang Munculnya Gagasan

Bila memperhatikan munculnya gagasan pluralisme agama yang unitif oleh Paul Knitter, maka dari pernyataan-pernyataan yang dikemukakannya tampak jelas bahwa Paul Knitter memiliki suatu kerinduan dan kepedulian yang luar biasa. Pertama, kepedulian terhadap orang-orang beragama di dunia ini yang lahir dari sikap positif terhadap orang percaya dalam tradisi agama lain. Hal ini begitu nyata dalam ia memberikan argumentasi-argumentasi tentang pluralisme yang unitif itu dan juga dan karyanya yang berbicara mengenai dialog Dengan kata lain Knitter tampak memiliki suatu keprihatinan yang mendalam dalam melihat dunia ini dengan berbagai masalah yang ada di dalamnya, khususnya berkaitan dengan agama-agama di dunia ini. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh Karl Rahner selama Knitter studi di Universitas Munster, telah mengembangkan sebuah wawasan yang lebih positif terhadap orang percaya dalam tradisi agama-agama lain.1650

Kedua, kepedulian Knitter bukan saja terhadap orang-orang beragama itu, tetapi juga terhadap relasi antar orang-orang beragama itu yang ia pandang telah terjadi perpecahan oleh karena agama. Dengan demikian, ia begitu menekankan mengenai relasi antar agama maupun antar orang-orang beragama itu sendiri, walaupun selanjutnya relasi yang dibangun Knitter menjadi relasi yang lebih mengkompromikan kebenaran firman Tuhan. Knitter memang patut dipuji untuk hasratnya yang dalam untuk membangun dan memelihara relasi antar agama di antara orang-orang di bumi ini. Kejujurannya, ketulusannya dan keinginan yang murni untuk mendengarkan dan belajar dari semua orang memperlihatkan adanya keterbukaan dan kerendahan hati yang jarang ditemukan dalam diri manusia - dan khususnya di dalam kalangan para teolog.1651

Ketiga, Knitter juga peduli pada penderitaan yang terjadi di dunia ini, khususnya dalam pengalamannya melayani orang-orang El Savador pada tahun 1986, sehingga ia merasa bahwa perlu adanya suatu pembebasan orang-orang dari penderitaan itu.1652 Dalam wawancara dengan Paul Eddy, seorang mahasiswa pasca sarjana di Universitas Marquette, Knitter mengungkapkan perasaannya dengan pernyataan sebagai berikut: "Saya merasa tidak dapat meneruskan tugas dialog agama saya tanpa memperhatikan apa yang dimaksud dengan penderitaan itu menurut Injil".1653

Keempat, selain kepedulian yang ada dalam diri Knitter, tampak adanya suatu kerinduan yang dalam untuk terwujudnya persatuan dan kesatuan di antara umat beragama. Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan, sebelum menawarkan alternatif pluralisme yang unitif ini, adalah pertanyaan-pertanyaan kritis yang seharusnya diajukan oleh setiap orang Kristen yang begitu perhatian kepada masalah pluralitas agama yang ada di dunia ini. Bila membandingkan dengan kerinduan Yesus dalam Alkitab untuk terjadinya kesatuan di antara para pengikut-Nya1654, maka kerinduan Knitter untuk adanya kesatuan ini patut diacungi jempol. Walaupun memang konteks kesatuan yang dipikirkan oleh Yesus berbeda dengan kesatuan yang dipikirkan oleh Knitter, dan juga cara yang Knitter lakukan untuk mewujudkan kesatuan itu tidak dapat sepenuhnya dibenarkan, tetapi setidaknya kerinduan untuk terjadinya kesatuan antar manusia itu dalam diri Knitter adalah kerinduan yang baik, yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang Kristen. Hanya saja dalam mewujudkan kerinduan dan visi pluralisme yang unitif itu, Knitter menggunakan cara-cara dan pengajaran yang lebih mengkompromikan dan mereduksi iman Kristen.

B. Analisis terhadap Metode Pendekatan dan Ajarannya

Bila latar belakang dan dasar pemikiran Knitter tampak begitu baik dan patut dipuji, namun tidak demikian dengan cara atau metode pendekatan yang ia gunakan. Knitter berhasil dalam memotivasi seseorang untuk menyadari akan pentingnya memahami realitas agama yang jamak itu di dunia ini, namun bila memperhatikan metode pendekatan dan visi pluralisme yang unitif itu, maka tampak adanya beberapa kelemahan.

Pertama, di satu pihak Knitter tampak begitu luas dan mengagumkan dalam memberikan pendekatan-pendekatan untuk gagasan pluralisme agama yang unitif itu. Ia memakai pendekatan berupa isu-isu yang memang aktual seperti tiga argumen dari tiga bidang ilmu, yaitu filsafat, sosiologi dan psikologi sosial, serta politik ekonomi dan semua pembahasan disertai dengan contoh-contoh dari dunia keilmuan yang menjadi bukti dan dukungan yang konkret terhadap visinya itu. Namun di pihak lain, Knitter kurang hati-hati dalam menerapkan pendekatannya itu dalam konteks pluralitas agama, sehingga tampak adanya kesan memukul rata atau menggeneralisasikan segala input yang ia terima dan mengaplikasikannya dalam konteks beragama. Misalnya, pemaparan tentang pandangan yang prosesif dan relasional tentang realitas yang dicarikan dukungan dari contoh-contoh filsuf yang tentu saja presuposisi dan world view yang mereka miliki itu belum tentu sama dan bahkan cenderung mengarah kepada relativisme.

Kedua, Knitter mendasarkan pemikirannya seperti kebanyakan yang dilakukan oleh para pluralis lainnya, yaitu: pertama pergerakan 'filsafat kultural', di mana para pluralis mengklaim dukungan dari observasi filsafat kontemporer dengan penekanan pada budaya manusia yang relatif. Kedua, pergerakan 'teologikal mistikal,' di mana para pluralis memakai pendekatan yang modern tentang Allah sebagai Misteri Infinitif yang Tidak Dapat Dikenal. Tiga, pergerakan 'etikal praktikal', di mana para pluralis sangat menekankan pada hal-hal yang bersifat etis dan praktis. misalnya dalam dialog sebagai suatu imperatif. Keempat, pergerakan 'pastoral' di mana para pluralis menekankan peran penggembalaan yang praktis yang sangat dibutuhkan dalam berelasi dengan agama-agama lain di dunia ini, dan kelima, pergerakan 'skriptural', yang mana para pluralis tidak memberlakukan Alkitab sebagai otoritas utama, sehingga dalam menafsirkannya pun tidak perlu berangkat dari teks, tetapi dari konteks pergumulan penerimanya.1655 Dari sini, tampak jelas bahwa gagasan-gagasan tentang hal-hal yang evolusioner dan relasional itu banyak mewarnai pemikiran Knitter, sehingga tidak heran bila kebenaran yang dipahami oleh Knitter bukan kebenaran yang normatif (berpedoman pada satu aturan), tetapi kebenaran yang relatif dan relasional yang sangat bergantung pada relasinya dengan konteks penerimanya.

Ketiga, sepertinya memang Knitter sedang berusaha menggunakan metode yang berangkat dari konteks pergumulan manusia modern pada zamannya. Knitter memang berupaya untuk mendaratkan pemikirannya untuk konteks dunia ini, tetapi akhirnya menjadikan konteks sebagai titik berangkat pemikirannya dan bukan melihatnya dari sudut pandang teks kitab suci dalam agama tersebut. Dengan kata lain, Knitter lebih mengutamakan ortopraksi daripada ortodoksi, dan tidak heran pula bila lalu ia merangkul teologi pembebasan dalam pendekatannya terhadap pluralisme agama.

Keempat, Knitter berusaha dengan proposal pluralisme agama yang unitif ini untuk tidak terjebak pada ekstrim tertentu. Ia berusaha untuk menghindar dari pluralisme yang radikal di satu pihak, tetapi juga tidak mau terjebak pada kesatuan monistik yang absolut. Namun demikian, tidak semudah itu mengajukan jalan tengah ini, karena tetap akhirnya Knitter berada di kubu pluralis yang mereduksi keunikan agama masing-masing sedemikian rupa demi terjadinya relasi yang baik antar agama tersebut.

Kelima, perlu adanya dua pertanyaan yang terus menerus diajukan terhadap visi pluralisme agama yang unitif dan semua pengajaran dari Knitter, yaitu dua pertanyaan yang sebenarnya berasal dari Knitter juga,1656 yaitu 'apakah itu bisa terjadi?' (does it work?), dalam arti apakah hal ini memberikan suatu titik yang mutual dan sesuai dengan persetujuan semua pihak dan 'apakah itu Kristen?' (is it Christian?), dalam arti apakah hal ini menunjukkan kesetiaan pada kesaksian Alkitab dan sejarah kekristenan. Sampai di sini dapat dikatakan bahwa memang visi ini seperti sedang menuju pada utopia yang tidak mudah untuk diraih.

Kesimpulan - Pluralisme Unitif: Suatu Tantangan bagi Kristen Masa Kini

Dari analisis di atas, jelaslah bahwa sekalipun maksud, motivasi, dan semangat persatuan Knitter adalah maksud yang mulia, tetapi untuk mencapai tujuan itu Knitter seolah menghalalkan segala cara, termasuk mereduksi imannya. Hal ini sesungguhnya tidak harus terjadi.

Mencermati gagasan Paul Knitter mengenai visi pluralisme agama yang unitif, seharusnya memang Kristen terhenyak dan bangun dari tidur panjangnya. Karena visi ini sebenarnya lahir dari suatu keprihatinan, kepedulian dan kerinduan untuk terwujudnya persatuan antar umat manusia di dunia ini. Memang tampak banyak kelemahan dalam penguraian dan perkembangannya, namun bukan berarti tidak ada yang dapat kita pelajari dari proposal Knitter itu.

Setidaknya ada satu hal yang perlu kita pikirkan lebih lanjut dari kiprah Knitter itu yaitu bahwa semangat kesatuan umat manusia itu perlu diwujudkan, tentu saja dengan cara Kristen. Namun untuk mewujudkannya, biarlah tulisan dari Leslie Newbigin yang mengomentari buku Paul Knitter tentang visi pluralisme agama yang unitif, boleh dijadikan bahan pemikiran: ..... ada suatu kebutuhan untuk kesatuan - namun gagasan kesatuan menurut siapa? Semua peperangan dilakukan demi adanya perdamaian (Augustine). Kekristenan kadang-kadang menjadi imperialistik, namun pada jantung kekristenan ada salib dan penyangkalan terhadap segala bentuk imperialisme. Semua program untuk kesatuan memiliki prinsip organisasional dan 'komitmen iman'. Pluralisme agama yang menyajikan 'the myth of Chrsitian Uniqueness' adalah suatu bukti adanya kolaps kultural. Langdon Gilkey menyatakan bahwa ada 'sisi bayang-bayang' (shadow side) bagi semua agama. Karena itu gereja Kristen tidak perlu mengklaim memiliki kebenaran mutlak, tetapi perlu mengklaim ke mana tuntunan itu ditunjukkan.1657

Pandangan dari Newbigin ini seharusnya menjadi pandangan bagi orang Kristen dewasa pada masa pasca modern ini, secara khusus bagi Kristen yang hidup di dalam konteks masyarakat yang pluralis seperti di Indonesia. Kini sudah bukan saatnya lagi bagi Kristen untuk terus membungkus dirinya dengan isolasi-isolasi partikularis yang membangun tembok-tembok arogansi serta merasa benar sendiri. Tetapi justru dalam era keterbukaan ini. Kristen perlu terus membangun jembatan dan keterbukaan, tanpa mengkompromikan dan mereduksi kebenaran firman Tuhan yang berotoritas itu. Sehingga dengan demikian, ayat firman Tuhan yang sederhana yang mengatakan bahwa 'Allah menghendaki semua orang diselamatkan dan beroleh kemurahan Tuhan' (1 Tim 2:3-4 dan Rm 11:32) dapat diwujudkan dan dijiwai sebagai isi hati Tuhan yang sederhana dan perlu langsung dipraktikkan oleh semua Kristen di dunia ini bagi semua manusia di dunia ini. Maka tergenapilah panggilan Tuhan bagi setiap Kristen untuk menjadi 'terang bagi bangsa-bangsa, supaya keselamatan yang dari pada-Nya sampai ke ujung bumi' (Yes.49:6b).



TIP #14: Gunakan Boks Temuan untuk melakukan penyelidikan lebih jauh terhadap kata dan ayat yang Anda cari. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA