Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 5 No. 1 Tahun 1990 >  SEKILAS TENTANG PENAFSIRAN KITAB WAHYU > 
II. PELBAGAI PENDEKATAN 

Menurut Robert H. Mounce, hampir semua penafsiran dapat dikategorikan ke dalam salah satu dari empat aliran di bawah ini

(1) Aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab.

Golongan ini menafsir kitab Wahyu dari sudut lingkungan dan keadaan abad pertama, saat kitab itu ditulis.

(2) Aliran Sejarahwan.

Tokoh-tokoh aliran ini melihat kitab Wahyu sebagai nubuat tentang sejarah yang berjalan hingga zaman penafsir sendiri.

(3) Aliran Futuris atau Eskatologis.

Menurut aliran ini, kitab terakhir dari Perjanjian Baru ini menekankan kemenangan terakhir dari Allah atas kekuatan jahat. Golongan ini, khususnya yang memegang pandangan Dispensasi, melihat apa yang dicatat setelah Why.4:1 adalah hal-hal yang belum terjadi.

(4) Aliran Idealis atau Simbolis yang tidak dibatasi oleh waktu.

Bagi aliran ini, kitab Wahyu tidak menunjuk kepada suatu peristiwa tertentu, melainkan kepada prinsip dasar yang dipakai Allah dalam segala zaman.94

Apa yang disajikan oleh Mounce di atas, sebetulnya menyangkut dua hal yang amat penting dalam penafsiran kitab Wahyu. Pertama, sikap apa yang harus diambil terhadap jenis literatur apokaliptik kitab Wahyu. Ini penting karena jika kitab Wahyu memakai sejenis literatur yang populer pada zaman itu, lalu seberapa jauh ia berbeda dengan literatur apokaliptik umum.95

Jika tidak banyak berbeda itu berarti sifat nubuatnya mungkin tidak menonjol. Ini berarti penafsiran yang tepat adalah yang diambil oleh aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab, atau boleh sedikit bergeser katakanlah kepada aliran Idealis. Jika kitab Wahyu benar sangat berbeda dengan literatur apokaliptik umum (sesuatu yang sangat mungkin mengingat kreativitas komunitas orang Kristen dan wahyu khusus yang diterima oleh penulis kitab), maka pendapat aliran Sejarahwan atau aliran Eskatologis perlu dipegang. Di sinilah pangkal persoalannya dan inilah yang sulit ditentukan.

Kedua, berhubungan erat dengan yang pertama adalah seberapa jauh pelukisan dalam kitab Wahyu dapat ditafsir secara kias. Perdebatan sengit tentang Millennium (baca Why. 20:4) sebetulnya berkisar pada persoalan ini. Jika ditafsir hurufiah, berarti penafsir itu akan condong ke Premillennialisme, yang melihat masa seribu tahun itu benar-benar akan terjadi. Jika tidak, ia akhirnya akan bergeser ke Amillennialisme yang menjelaskan masa seribu tahun dengan pengertian simbolis. Kini harus kembali kepada pertanyaan yang mendasar, yakni apakah dapat dibenarkan bahwa kitab Wahyu dengan bentuk sastra literatur apokaliptik ditafsir secara hurufiah? Jawaban ini tidak tuntas jika tidak kembali kepada apakah ada perbedaan yang sangat prinsipil dan mencolok antara literatur apokaliptik umum dan Alkitabiah. Sekali lagi, inilah yang sulit, namun inilah yang menentukan.

Untuk memberi sekilas penjelasan tentang pelbagai pendekatan akan disajikan ringkasan beberapa tafsiran. Ayat yang akan dibahas adalah Wahyu 12:3, "Maka tampaklah suatu tanda yang lain di langit; dan lihatlah, seekor naga merah padam yang besar, berkepala tujuh dan bertanduk sepuluh, dan di atas kepalanya ada tujuh mahkota".

Bagi William Barclay, yang terlihat dari tafsirannya, Revelation of John vol.2 (Edinburgh: St. Andrew, 1974), apa yang ditulis oleh Rasul Yohanes ini berhubungan dengan ular merah yang ia lihat di kuil Marduk di Babilon. Sedangkan tujuh kepala dan sepuluh tanduk melambangkan kekuatannya yang besar, dan ekor yang menyeret bintang-bintang di langit berhubungan dengan Daniel 8:10. Barclay juga melihat gambaran ini melambangkan dua kekuatan oposisi dalam sejarah manusia. Ini kebenaran yang kekal. Dari sini boleh terlihat Barclay menggabungkan aliran Sejarah Zaman Penulis Kitab dan aliran Idealis.96

Menurut John F. Walvoord, dalam bukunya The Revelation of Jesus Christ (Chicago, IL: Moody, 1966), tanda yang terlihat di langit itu berhubungan dengan Wahyu 13:1, dan Daniel 7:7-8, 24, yang menunjuk kepada Kerajaan Romawi. Naga itu juga menunjuk kepada Setan. Warna itu menunjuk karakter pembunuhan. Tujuh kepala dan sepuluh tanduk menunjuk sepuluh negara, yang darinya tiga dicabut oleh tanduk kecil (Daniel 7:8). Tanduk kecil diidentikkan dengan penguasa dunia pada masa kesengsaraan, yang akan menjajah pada saat Kerajaan Romawi bangun kembali. Walvoord jelas mengambil posisi dari golongan aliran Sejarahwan, yang juga dicampur dengan aliran Futuris. Ia juga jelas berpegang pada kepercayaan Premillennialisme, yang berorientasi ke penafsiran hurufiah.97

Dari sebuah tafsiran yang relatif ringkas, Revelation (London: Tyndale, 1973), Leon Morris, seorang penafsir yang ternama, melihat tanda ini menunjuk kepada Setan. Hanya ia percaya ini ada hubungan dengan Mesir, yakni Firaun, dengan memperhatikan ayat-ayat dalam Perjanjian Lama yang berkaitan dengan negara tersebut. Dalam tafsirannya, Morris jelas melihat pelukisan di sini bersifat simbolis dan berhubungan dengan orang Kristen pada abad pertama.

Contoh-contoh yang disajikan di atas sudah tentu belum komplit, dan ringkasan-ringkasan ini dibuat hanya dengan tujuan menjelaskan aliran-aliran besar yang ada dalam penafsiran kitab Wahyu. Dengan demikian, prinsip dan metode penafsiran, teologi dan argumen dari penulis-penulis ini terpaksa tidak dapat di liput dengan teliti. Namun demikian, diharapkan pembaca dapat memperoleh suatu pandangan yang lebih konkret.



TIP #08: Klik ikon untuk memisahkan teks alkitab dan catatan secara horisontal atau vertikal. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA