Kematian seseorang bisa saja terjadi bagaikan sudah dipersiapkan sebelumnya. Sakit berkepanjangan dan usia sangat lanjut menyebabkan kepergian seseorang dianggap sebagai hal yang memang sudah waktunya. Kematian dianggap sebagai "penolong". Sebaliknya, tak jarang maut dianggap sebagai "perampok bengis yang kejam", mencegat tidak pada waktu dan tempat yang diharapkan. Bagaimanapun juga, rasa kehilangan muncul dan suasana kacau berkecamuk. Beberapa hal di bawah ini minimal dapat dilakukan:
1. Ketika mendengar peristiwa kematian seseorang, hamba Tuhan tidak perlu berkomentar ataupun menunjukkan rasa aneh, sebelum ia melihat sendiri apa yang sebenarnya terjadi.
2. Sedapat dan secepat mungkin hubungilah Majelis Jemaat yang mengurus soal-soal kematian agar hal-hal praktis bisa ditangani, seperti: peti mati, surat-surat, foto orang yang meninggal, perlengkapan, pemberitahuan kepada jemaat, dll.
3. Hamba Tuhan hadir segera setelah mendengar berita kematian tersebut. Kehadirannya itu sendiri sudah berarti banyak bagi orang yang berdukacita, setidaknya simpati. Apapun yang terjadi dalam kunjungan awal ini harus siap dihadapi. Bisa saja suasana histeris, shock, cara mati yang tak wajar, dan lain sebagainya. Dibutuhkan hikmat menghadapi segala hal itu namun tetap dengan mulut yang tidak banyak bicara. Apabila yang meninggal adalah orang Kristen, jika memungkinkan berdoa sejenak akan sangat berarti.
4. Susunlah jadwal acara dengan orang yang paling berwewenang dari anggota keluarga yang ditinggalkan, biasanya dengan anak yang paling tua (kalau yang meninggal adalah orang tua) atau dengan istri/suami yang ditinggalkan. Keputusan yang diambil dalam perundingan dengan orang yang tidak berwewenang akan menimbulkan kekacauan yang memalukan nama Tuhan. Dalam menyusun rencana acara jangan memaksakan keinginan diri. Jangan mengorbankan prinsip Alkitabiah serta efektivitas menjangkau sasaran melalui upacara tersebut. Perlu ditegaskan bahwa upacara tersebut dilakukan secara kristiani oleh Gereja.


pada halaman