Sampai saat ini teknologi yang banyak diserap berasal dari Barat. Teknologi itu sendiri tidak lahir dari alam vakum, tetapi merupakan anak kebudayaan. Dengan demikian teknologi Barat mau tidak mau membawa juga karakteristik kebudayaan Barat. Itulah sebabnya penulis setuju bila dikatakan bahwa teknologi modern tidak pernah netral. Ada pesan-pesan yang disampaikan melalui teknologi itu seperti: rasionalisasi, artifisialisasi, otomatisme, suasana yang terus berubah, dan efisiensi, yang semuanya itu telah membudaya di dalam alam kehidupan masyarakat Barat. Dalam prakteknya ketika kebudayaan Barat dan Timur bertemu, ternyata ada hal-hal yang mengganjal, sehingga pertemuan itu tidak berjalan mulus. Ada apa gerangan?
Orang Timur lebih mengandalkan rasa dan intuisi ketimbang rasionya, kontemplasi (perenungan) ketimbang aksi, partisipasi ketimbang individualisasi. Bisa dibayangkan betapa sulitnya terjadi harmoni. Bahkan sehubungan dengan kemerosotan moral yang sekarang sedang terjadi di Timur sebagai ekses modernisasi, timbul semacam antipati apriori yang mencap kebudayaan Barat sebagai dalangnya. Adanya benturan kebudayaan ini sudah lama disadari oleh para cendekiawan Indonesia. Tahun ini saja baru selesai diselenggarakan peringatan tahun ke-50 Polemik Kebudayaan dengan hasil yang tetap mengambang. Rupanya masalah dialog budaya Barat dan Timur merupakan pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai.

