Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  PROBLEM KEMATIAN SEBAGAI TANTANGAN PENGINJILAN DALAM MASYARAKAT MODERN > 
III. RELEVANSI KEBANGKITAN YESUS KRISTUS DALAM HUBUNGAN DENGAN KRISIS MAKNA 

Iman kita jelas diperhadapkan dengan tantangan-tantangan dalam kebudayaan, agama dan cara pandang dunia. Untuk itu, sebagaimana didefinisikan oleh Rasul Petrus, kita harus siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kita tentang pengharapan yang ada pada kita (1Pet 3:15).

A. Lebih dulu perlu diperlihatkan dasar antropologis dari krisis makna ditinjau dari sejarah keselamatan dalam Alkitab

Hanya dia yang tahu apa itu hidup, mampu mengatakan apa itu mati. Allah di dalam kehidupan Yesus telah menyatakan tujuan tertinggi dari hidup manusia. Allah menciptakan manusia dalam kondisi fisik, supaya menikmati persekutuan dengan Allah dan sesamanya. Maka hidup berarti bersekutu dengan Allah dan mati berpisah selamanya dari Allah. Manusia keliru berusaha untuk bebas dari Allah, karena hal itu menghancurkan dirinya sendiri (Kej 3). Kemudian, manusia dengan usaha sendiri tidak mampu meniadakan kematian, sebagaimana ia juga tidak mampu meniadakan dosa sebagai penyebabnya (Rom 3:28). Sebenarnya keadaan hidup manusia adalah "ada menuju kematian." Ketika manusia berdosa dan tidak mampu bersekutu dengan Allah, Sang Pencipta melalui Yesus Kristus turun kepada manusia bahkan turun sampai mati (Flp 2). Dengan cara ini kematian menjadi titik temu antara Allah dan orang berdosa. Kalau manusia bertemu maut, ia mati, tapi kalau Allah bertemu maut, maut itu sendiri yang mati. Dalam ketidakberdayaan salib, Kristus telah menghancurkan kedigdayaan dosa dan karenanya juga mengatasi kuasa maut (1Kor 15).

B. Kuasa dan relevansi berita kebangkitan berdasarkan pada fakta historis dari peristiwa kebangkitan itu sendiri

Jikalau kita memeriksa topik kebangkitan secara jujur dan serius, kita akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan historis sebagai berikut.

1. Para saksi kebangkitan dapat dipercaya, sebab berita pertama-tama mengenai kubur yang kosong justru menimbulkan ketakutan di kalangan murid. Keadaan emosi demikian jelas memperlihatkan bahwa mereka tadinya tidak berpikir Yesus akan bangkit. Namun setelah mereka yakin Yesus telah bangkit, para saksi mata kebangkitan itu, wanita di kubur dan murid-murid, kemudian menderita karena kesaksian mereka atas kebangkitan dan beberapa bahkan mati syahid karena berita ini.

2. Di antara peristiwa kebangkitan dan saksi mata secara tertulis (1Kor 15:1-8) hanya berselang beberapa tahun. Para saksi yang disebutkan Paulus adalah mereka yang hidup sezaman dengan pembaca surat Paulus itu. Maka sebagian besar mereka, kalau mau, bisa di wawancara sebagai saksi saksi mata.

3. Orang di mana-mana menyaksikan berbagai penampakan Kristus. Bahkan orang Yahudi musuh orang Kristen tidak menyangkal fakta kubur yang kosong. Mereka hanya mengartikan fakta itu secara berbeda, yakni mayat Yesus dicuri.

4. Penulis-penulis Perjanjian Baru jelas tahu membedakan antara mitos dan laporan fakta historis (bdk. 2 Pet 1:16). Sumber-sumber PB adalah laporan yang benar dan terpercaya mengenai peristiwa kebangkitan.

Dengan semua bukti di atas, dapat dikatakan bahwa secara historis kebangkitan merupakan salah satu peristiwa lampau yang paling baik pembuktiannya. Akan tetapi, fakta sejarah ini tidak bisa diterima oleh pendengar tanpa konsekuensi pribadi. Karena itu, selain soal peristiwa historis, orang juga diperhadapkan dengan tantangan secara pribadi untuk menerima atau menolak klaim Ketuhanan Yesus.

C. Signifikansi dari historisitas kebangkitan khususnya ditekankan sekarang dalam debat dengan higher criticism dari abad ke-19 dan ke-20

Ludwig Feuerbach dalam hipotesis proyeksinya menuduh bahwa berita kebangkitan dan janji langit baru dan bumi baru hanyalah buah angan-angan manusia. Sigmund Freud mengikuti Feuerbach dengan psikologinya yang mengkritik agama dan menganggap iman Kristen sebagai ilusi saja. Namun demikian, kritik-kritik ini sebenarnya kurang mempertimbangkan dua hal. Pertama, sesuatu yang diangan-angankan, tidak ada kaitannya dengan ada tidak adanya sesuatu. Kedua, hipotesis proyeksi dari Ludwig Feuerbach dan semua kritik sejenisnya, berangkat dari aspek psikologis dari berita kebangkitan ketimbang dari klaimnya sebagai realitas sejarah. Bertentangan dengan semua usaha neo liberalisme, hubungan integral antara fakta historis kebangkitan dan penerimaannya secara pribadi tidak bisa diabaikan. Di satu pihak, iman tanpa tindakan keselamatan yang historis tidaklah berdasar; di lain pihak, melulu pengakuan rasional atas tindakan Allah yang historis, namun tanpa mengimaninya secara pribadi, juga gagal mencapai keselamatan. Bila teologia modern coba-coba mendemitologisasi pesan Alkitab sekalipun tetap mempertahankan relevansi iman, ia gagal. Karena iman tanpa dasar historis tidak cukup dan hanya akan menjadi sasaran kritik psikologi agama dari Feuerbach dan pengikutnya.

Ketika teologia Injili menekankan dasar sejarah dari iman Kristen, dalam konteks kita yakni fakta historis dari kebangkitan, teologia itu mampu melampaui masanya sendiri. Hanya melalui fakta kebangkitan, orang beriman mampu mengatasi kritik dari psikologi agama.



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA