Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 >  WAWANCARA DENGAN CHARLES CHRISTANO > 
KITA MELIHAT KECENDERUNGAN DUA EKSTREM DALAM GEREJA. DI SATU SISI ADA GEREJA YANG TERLALU MENEKANKAN ASPEK HORISONTAL. GEREJA LAIN DI POSISI SEBALIKNYA TERLALU MENEKANKAN ASPEK VERTIKAL. BAGAIMANA KEA 

Kalau ditanya itu Salah siapa saya mau lebih ekstrem dalam peribahasa Inggris yang mengatakan: To error is human, to forgive is divine. Orang Indonesia lebih pintar: Bersalah itu manusia, tetapi lebih manusiawi tidak mengaku bersalah (biasanya para pemimpin). Bagi pemimpin yang vested interest dan mau bertahan terus. yang paling manusiawi yaitu cari kambing hitam. Di tengah masyarakat kita banyak kambing hitam berkaki dua. termasuk dalam gereja. Pendeta can do no wrong, pendeta beyond criticism. Ini enggak benar, ini kultus individu. Kita jangan melupakan imamat rajawi. Orang-orang awam pun berhak ikut menggembalakan, menegur dan mengoreksi. Kalau itu terjadi, ketimpangan yang tadi akan di eliminir. Pendeta yang Injili mengatakan itu sekuler, bukan bidang kita namun jemaat yang peduli terhadap pendidikan, keadilan, hak buruh. mau ngomong tidak diberi tempat, malah dipecat. "Luh tahu apa, saya pendeta." Nah orang-orang macam ini enggak bakalan betah di gereja Injili. Ia akan pindah. Kalau mereka pindah, gereja Injili akan makin vertikalis. Gereja yang horisontalis akan makin horisontalis karena diisi orang-orang begitu.

Bagaimana mengatasi itu? Saran saya hubungan antara gereja harus mengalami liberalisasi. Kalau ada pasar bebas, komunikasi makin bebas, kenapa gereja status quo? Implikasi omongan saya ini macam-macam. Saya berani mengatakan bahwa jemaat awam lebih siap beroikumene daripada pemimpin gereja. Kalau lembaga Injili termasuk STT membiarkan jurang itu terus menganga, makin lama jurang keterpisahan kelompok vertikalis dan horisontalis akan bertambah lebar. Dalam dunia pasar terbuka, mereka bergadengan tangan tetapi gereja makin one sided. Itu dunia rohani yang hanya dinikmati minggu pagi. Beranikah gereja Injili addressing themselves tentang dunia riil di mana kita yang beriman harus bergumul menghadapi tantangan? Untuk itu kita harus tahu politik, perbankan, pasar modal, valas. Bukan berarti pendeta harus tahu semua tetapi manfaatkan dong para pakar.

Tetapi itu tentu tetap berpegang pada teologi yang benar dan tidak meninggalkan ortodoksi seperti yang gejalanya mulai terlihat dalam gereja yang oikumenikal.

Jelas. tidak bisa tidak. Kita tidak bisa tidak harus siap dalam menghadapi banjir informasi. Generasi sekarang menjadi well informed Gereja boleh bilang kamu jangan ini itu, tetapi anak-anak terus kebanjiran informasi. Saya mau tegaskan bahwa well informed tidak sama dengan siap menghadapi tantangan karena well informed belum tentu bisa mengintegrasikan semua informasi yang diterima. Orang bisa jadi bingung, terlalu banyak filsafat masuk. Kalau anak muda tidak dipersiapkan untuk mempunyai filter firman Tuhan yang benar, kacamata yang benar untuk melihat apa yang terjadi di sekitar kita, habislah. Maka fungsi STT Injili jadi penting. Harus in touch with the world tetapi bukan worldly. Apa yang dikatakan Paulus, biarlah kita memandang kepada Kristus yang ada di atas. Saya mau menambahkan -- tidak ada dalam firman Tuhan -- bahwa "kaki harus menjejak di bumi" supaya kita jangan terbang di awang-awang. Kadang-kadang terjadi hal yang ironis. Ada gereja yang sangat menekankan karunia Roh kudus dan karunia rohani. Seringkali mereka lebih Injili daripada main line denominations. Mereka mengatakan di dunia hanya mampir minum, tetapi kenyataannya makin materialistis dengan teologi suksesnya. Ini 'kan aneh. Tidak sinkron.



TIP #24: Gunakan Studi Kamus untuk mempelajari dan menyelidiki segala aspek dari 20,000+ istilah/kata. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA