Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 >  HUBUNGAN AGAMA - NEGARA DALAM PERSPEKTIF NEGARA PANCASILA > 
TERANTUK-ANTUK 

Banyak orang beranggapan bahwa masalah hubungan agama dan negara telah selesai dengan diterimanya Pancasila sebagai Dasar Negara (1945), terlebih-lebih setelah diundangkannya Pancasila sebagai satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara (1985). Mereka salah duga! Walaupun menurut akal sehat memang seharusnyalah demikian, namun kenyataan di sekitar kita - khususnya 15 tahun terakhir ini - memperlihatkan yang sebaliknya. Masalah itu bukan saja belum selesai, melainkan malah menjadi kian problematik. Seolah-olah kita belum pernah mengambil keputusan konstitusional, bahwa Indonesia adalah negara Pancasila - bukan negara sekular, bukan pula negara agama. Padahal bila kita menengok ke belakang ke sejarah republik ini, nyatalah betapa persoalan hubungan agama dan negara itu sungguh krusial bagi eksistensi dan masa depan negara yang amat majemuk ini. Maksud saya, bila kita berhasil menata persoalan tersebut secara arif dan adil, maka selamatlah bangsa dan negara kita dari ancaman kekeroposan atau bahkan perpecahan. Sebaliknya apabila gagal, maka bencana dan malapetaka pula yang akan membayangi masa depan bersama kita sebagai bangsa. Berikut ini adalah beberapa bukti sejarah.

Terantuk kepada masalah inilah, pada tahun 1945, proses penyusunan UUD nyaris gagal total, dan seluruh persiapan kemerdekaan Indonesia buyar tak menentu. Yaitu sekiranya kita tidak mampu menyelesaikan masalah pilihan antara `negara agama' dan `negara sekular'. Atau sekiranya soal "tujuh kata", yang terkenal sebagai Piagam Jakarta, itu tidak diselesaikan dengan arif dan jiwa besar.

Rangkaian pemberontakan bersenjata, yang dilakukan baik oleh yang lazim disebut "ekstrim kiri" maupun "ekstrim kanan", juga dapat dikaitkan dengan masalah bagaimana menata hubungan antara agama dan negara. Ini disusul dengan perdebatan di Konstituante yang bubar tanpa hasil. Bubarnya Konstituante hasil Pemilu 1955 tersebut disebabkan oleh karena tersandung pada masalah klasik yang sama di mana tempat dan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah itu, saya berkeyakinan bahwa ancaman potensial bagi keutuhan (=integritas) kita sebagai bangsa di waktu-waktu mendatang - dan ini pada gilirannya akan menentukan apakah kita akan gagal atau berhasil mengatasi tantangan-tantangan globalisasi - akan amat ditentukan oleh sukses gagalnya kita menata secara `pas' hubungan Agama dan Negara di dalam konteks negara Pancasila.

Mengenai Negara Pancasila ini, kita telah berhasil menelorkan beberapa aksiom, yang bisa kita anggap sebagai konsensus nasional. Antara lain: "Negara Pancasila bukan negara agama dan bukan pula negara sekular"; "kita tidak mengagamakan Pancasila, dan tidak pula mempancasilakan agama"; "Negara tidak campur tangan dalam urusan-urusan keagamaan; dan agama tidak campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan"; "Indonesia tidak mengenal baik "negara agama". Dan seterusnya. Mestinya dengan semua ini maka hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila telah jernih dan jelas. Namun benar begitukah keadaan kita? Benarkah prinsip-prinsip itu kita laksanakan? Ternyata tidak! Dari sinilah, seperti yang saya kemukakan di atas, kerancuan yang lain pun merebak.



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.07 detik
dipersembahkan oleh YLSA