Perkenankanlah di bawah ini saya menyampaikan beberapa contoh, betapa selama ini kita telah tidak taat asas. Maksudnya: tidak seperti yang kita klaim sebagai jiwa dan semangat Orde Baru, kita tidak melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tuduhan ini berat, oleh karena itu harus disertai bukti. Kita mengatakan bahwa "Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara." Prakteknya? Dalam kehidupan bernegara, kita (barangkali) masih lumayan konsisten menentang setiap usaha untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Sekali lagi, itu dalam kehidupan kita bernegara. Tapi bagaimana dalam kehidupan kita berbangsa? Bagaimana dalam kehidupan kita bermasyarakat?
Kapan yang terakhir Anda mendengar orang berbicara tentang "pembangunan masyarakat Pancasila"? Pasti sudah lama sekali. Sebabnya ialah, karena yang dalam praktek kita bangun memang bukan `masyarakat Pancasila'. Masing-masing kelompok sibuk membangun masyarakatnya sendiri. Alhasil, yang terbangun bukanlah satu masyarakat Pancasila, melainkan satu masyarakat (Pancasila) yang merupakan kumpulan atau penjumlahan dari masyarakat-masyarakat tadi. Satu masyarakat yang merupakan kumpulan umat-umat. Bagaikan sebuah kepulauan yang terdiri dari ratusan pulau, yang satu sama lain tersekat-sekat oleh ribuan selat. Dari sinilah orang dengan tanpa risih dan terganggu mengucapkan atau mendengar: negara agama, No; masyarakat agama, Yes!
Situasi seperti ini bisa amat berbahaya. Sebab kemantapan dan kelestarian sebuah masyarakat sangatlah tergantung kepada - apa lagi kalau tidak - kadar kadar integrasinya. Kadar integrasi ini, pada gilirannya, amat tergantung kepada "integrasi" atau "konsensus" atau "kesepakatan" nilai-nilai. Di dalam sebuah "masyarakat umat-umat" seperti yang saya kemukakan di atas, kesepakatan nilai menjadi hampir-hampir mustahil. Yang lebih mungkin terjadi adalah: konflik nilai-nilai, ketegangan dan persaingan antar nilai, dan/atau pemaksaan nilai-nilai satu kelompok (biasanya dari kelompok yang lebih kuat) terhadap kelompok-kelompok lainnya. Bila benar bahwa inilah yang secara tidak sadar sedang terjadi di negeri ini, maka baiklah kita sadari bahwa yang sedang kita pertaruhkan (=what is at stake), tidak kurang adalah integrasi sosial masyarakat kita, yang merupakan faktor utama bagi kelangsungan dan kemantapan eksistensi sebuah masyarakat.
Padahal roti yang paling hakiki dari sebuah "masyarakat Pancasila" adalah itu. Yaitu sebuah masyarakat di mana kepelbagian diakui dan dihargai, tidak dilenyapkan dan tidak ditindas. Namun demikian, tidak pula ia dibiarkan begitu saja tumbuh liar bagaikan alang-alang secara laissez faire. Semua kepelbagian yang ada didialogkan bersama, secara terus-menerus, bebas dan terbuka, di dalam batas batas kerangka yang disepakati bersama, yaitu Kerangka Pancasila (Pancasila Frame of Reference). Melalui interaksi yang dialogis dan terus-menerus inilah, dihasilkan konsensus demi konsensus. Konsensus ini saya namakan konsensus minimum, artinya kesepakatan yang paling minimal bisa disepakati oleh semua. Konsensus minimal yang telah dicapai dipakai sebagai landasan pijak bersama untuk melanjutkan dialog dan interaksi, yang akan menghasilkan konsensus minimum yang lebih lanjut. Dan begitu seterusnya. Masyarakat Pancasila amat menekankan ini. Dalam asas `musyawarah untuk mufakat', unsur `musyawarah' itu jauh lebih penting ketimbang unsur `mufakatnya'nya. Tidak seperti di dalam praktek sekarang: musyawarah itu hanya dipakai untuk melegitimasikan kemufakatan yang telah dicapai `sebelumnya di luar musyawarah! Sehingga yang terjadi bukanlah musyawarah, melainkan skenario yang dipaksakan. Manis dilihat dari luar, tapi busuk di dalam.
Oleh karena itulah, kita harus merasa terganggu bila dengan mudah orang mengatakan, "Dengan melaksanakan ajaran agama, dengan sendirinya saya sudah melaksanakan Pancasila." Jawab saya: belum tentu! Kita melihat begitu banyak tindakan yang memakai simbol-simbol agama, namun jelas-jelas tidak sesuai dengan Pancasila. Dengan diberi penafsiran tertentu, agama bila (ditafsirkan sebagai) mengajarkan intoleransi, eksklusivisme, pemaksaan, diskriminasi, dan sebagainya. Berlawanan dengan semangat Pancasila.
Di sini, Anda jangan mengalihkan persoalan menjadi persoalan, mana yang lebih luhur: ajaran Pancasila atau ajaran agama. Kesepakatan kita ialah tidak mempersandingkan maupun mempertandingkan antara agama dan Pancasila. Yang semestinya kita lakukan adalah menginterelasikan keduanya: bagaimana menjalankan ajaran agama kita masing-masing di dalam konteks negara Pancasila? Menginteraksikan `teks' dengan `konteks'. Bukan begitu saja mengidentikkannya ataupun mengoposisikannya.