Di atas telah saya kemukakan, bahwa kedudukan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara adalah lumayan mantap. Namun demikian, bila kita mencermatinya dengan lebih teliti, di sini pun kerancuan telah merayap masuk: Bila kita konsekuen mengatakan, bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bernegara, maka logikanya adalah: semua kebijakan negara (baca: pemerintah) haruslah mengacu kepada Pancasila. Paling sedikit, tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang paling hakiki. Namun begitukah yang terjadi di dalam praktek? Jawab saya: Tidak. Di bawah ini adalah beberapa contoh.
Pertama, lahirnya produk-produk kenegaraan yang jelas-jelas tidak mengacu dan bersumber pada Pancasila, melainkan pada hukum agama tertentu. Timbul kesan, bahwa negara telah ditundukkan (=disubordinasikan) ke bawah agama. Agama telah dibiarkan melakukan intervensi langsung dalam hidup kenegaraan. Keduanya bertentangan dengan asas-asas hubungan agama dan negara dalam negara Pancasila.
Kedua, di pihak lain, seringkali tanpa sadar, kita membiarkan negara mengsubordinasikan agama. Misalnya, ironis sekali bahwa negara diberi wewenang untuk menentukan mana yang agama dan mana yang tidak, mana agama yang benar dan mana agama yang sesat, mana agama yang bila diakui dan mana agama yang mesti dilarang. Wewenang yang semestinya hanya ada pada Tuhan dan para penganut agama yang bersangkutan, telah diambil oper oleh negara! Lebih ironis lagi, agama-agama sendirilah yang sering memberikan otoritas tersebut kepada negara, karena menikmati keuntungan politis dari situ. Tidak menyadari bahwa apa yang bisa terjadi kini pada agama lain, bisa terjadi pada diri sendiri (baca: hak kita beragama dicabut oleh negara).
Ketiga, memang tidak ada dasar hukumnya secara tertulis. Namun kita bohong, bila mengatakan bahwa itu tidak ada Yang saya maksud ialah, pendekatan proporsional kuantitatif. Sederhananya: bila secara kuantitatif jumlah umat Kristen hanya 10 persen, maka jatah atau kuota negara untuknya juga hanya 10 persen. Plus catatan bahwa ini juga berlaku di wilayah-wilayah di mana umat Kristen adalah 'mayoritas'.
Apa persoalan kita di sini? Sama sekali bukan persoalan yang besar sewajarnyalah mendapat yang lebih besar. Ini masalah kewajaran belaka. Juga bukan persoalan bahwa jumlah orang Kristen dalam pemerintahan menjadi terlalu sedikit. Tidak! Bagi kita tidak ada `menteri Kristen' atau `menteri Islam'. Yang ada ialah, "Menteri RI".
Yang harus dipersoalkan adalah: bahwa agama telah dijadikan alat penentu untuk membedakan perlakuan terhadap warga negara. Padahal pemerintah seharusnya "buta warna" dalam hal ini. Yang mesti dipersoalkan juga adalah, bahwa agama telah dijadikan penentu dalam kebijakan negara. Padahal kita telah menyatakan, bahwa Republik Indonesia bukanlah negara agama. Ini bertentangan dengan Pancasila, yang inklusif dan non diskriminatif. Tidak inklusif, oleh karena menerapkan asas prioritas dan mayoritas dalam memperlakukan warga negara. Dan diskriminatif, oleh karena yang terjadi adalah pembeda-bedaan. Bukan sekadar menghormati perbedaan. Konsensus telah dilanggar dan diubah tanpa melalui konsensus. Untuk ini sebuah prinsip keadilan dan kebenaran yang universal telah dilanggar!