Seperti yang sudah disebutkan di atas, olahraga selain mendisiplin tubuh juga sebagai salah satu wujud nyata ekspresi kepribadian dan rohani seseorang. Jika seorang atlet mempunyai kepribadian yang baik maka ia akan menjunjung tinggi peraturan-peraturan olahraga di mana ia bermain dan bertanding. Seseorang yang kepribadiannya kurang baik akan terlihat ketika ia berolahraga. Misalnya, jika ia adalah seorang yang egois maka ketika ia bermain dalam sebuah tim ia akan terlihat sering bermain sendiri dan kurang memperhatikan kerja sama tim. Lebih buruk lagi jika atlet melanggar peraturan dengan sengaja untuk mencapai kemenangan. Tepat sekali jika dikatakan bahwa "atlet yang ideal harus mempunyai kepribadian yang ideal."1448 Untuk itu ukuran kepribadian atlet yang baik adalah sejauh mana atlet tersebut menaati dan melaksanakan peraturan olahraga. Seorang atlet yang baik akan menjadikan ketaatan kepada peraturan sebagai tanda kehormatan diri.1449
Dengan mengandaikan adanya perangkat peraturan yang sudah disepakati bersama, maka pembahasan selanjutnya adalah bagaimana peraturan itu dijalankan. Pertama-tama, pemain sebagai yang berkewajiban untuk melaksanakan peraturan. Para pemain sudah seharusnya memahami dengan sejelas jelasnya berbagai peraturan yang ada. Dengan demikian para pemain akan melakukan apa yang seharusnya dilakukan dan tidak melakukan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Jika hal di atas sudah dilakukan, maka sebetulnya tidak diperlukan lagi wasit, sang pengadil di lapangan. Sayang sekali, hal ini tidak mungkin karena semangat ingin menang seringkali membuahkan pandangan yang subyektif dan menindas obyektivitas. Jadi untuk kelancaran pertandingan tetap dibutuhkan wasit.
Tugas wasit adalah pengadil. Wasit harus memberikan keputusan yang seadil-adilnya dalam setiap permasalahan yang timbul dalam pertandingan. Wasitlah pemegang otoritas penegak peraturan di lapangan. Para pemain harus menghormati penilaian dan keputusan wasit. Tentu saja wasit, sebagai manusia biasa, dapat salah memberikan penilaian dan mengambil keputusan. Dalam hal ini tetap keputusan wasit harus diterima. Sebuah contoh klasik adalah "Gol Tangan Tuhan" yang terjadi dalam pertandingan sepak bola antara Argentina dan Inggris dalam Piala Dunia 1986 di Mesiko. Diego Maradona, maha bintang dari Argentina, dalam suatu kesempatan menyerang menerima umpan lambung dan segera dimanfaatkannya untuk menghasilkan gol. Sepertinya ia menghasilkan gol dengan menyundul bola. Dari sudut pandang wasit gol itu sah karena wasit menilai gol tersebut terjadi karena sundulan kepala Maradona. Sebaliknya para pemain Inggris dan sebagian penonton melihat bahwa gol tersebut terjadi karena tepisan tangan Maradona. Sekalipun di protes, wasit yakin pada keputusannya dan tetap mensahkan gol yang terjadi walaupun pada akhirnya dari rekaman ulang memang terlihat bahwa tangan Maradona yang menggolkan bola ke jaring, bukan kepalanya.
Dalam hal semacam ini para atlet harus berbesar hati dan menerima keputusan wasit, sekalipun keputusan itu sebetulnya salah. Itulah aturan mainnya. Itulah mekanismenya. Itulah sistemnya. Tanpa sistem dan peraturan seperti ini akan terjadi banyak kekacauan dalam berbagai pertandingan. Tugas atlet adalah melaksanakan peraturan olahraga sebagai perwujudan kepribadiannya. Ia tidak akan dengan sengaja melanggar peraturan ataupun mencoba mengelabui wasit. Seorang pemain bola yang baik tidak akan mendorong pemain lawan dengan sengaja untuk mendapatkan bola. Ia tidak akan pura-pura di-tackle dengan keras oleh pemain lawan di kotak penalti agar mendapat hadiah tendangan penalti. Ia tidak akan melakukan agresivitas yang membahayakan lawan dengan cara apapun. Semuanya ini adalah bagian dari peraturan yang harus ditegakkan.1450
Sebaliknya, para wasit haruslah menjadi penegak peraturan yang obyektif. Sungguh menyedihkan jika para atlet sudah berusaha bermain sebaik-baiknya dan sudah menaati peraturan tetapi semuanya ini dirusak oleh ketidakobyektifan wasit. Masalah klasik yang bisa merusak obyektivitas wasit adalah uang. Hal ini sepertinya sudah menjadi penyakit kronis dalam dunia persepakbolaan di Indonesia. Dari berita yang kita baca beberapa klub di Indonesia yang bertanding dalam Divisi Utama dan Divisi I sudah menyatakan bahwa ada wasit-wasit yang minta di servis oleh tim tuan rumah dan juga minta uang ekstra jika pihak tuan rumah ingin diuntungkan. Menurut kesaksian Agustomo, ketua Harian Pelita Mastran, kolusi dengan wasit sudah terjadi sejak 1990.1451 Hal ini tentu sangat merusak semangat olahraga dan sama sekali tidak etis. Dalam hal ini wasit telah gagal menjadi penegak peraturan dengan subyektivitasnya.
Satu pihak lain yang harus memperhatikan peraturan pertandingan adalah penonton. Penonton berkewajiban untuk menjaga agar pertandingan berjalan dengan baik. Penonton boleh saja menjadi suporter yang fanatik, tetapi tidak bisa menjadi penonton yang subyektif. Boleh saja ingin timnya menang, tetapi yang lebih utama bukan pada menang atau kalah tetapi pada mutu pertandingan. Penonton harus mempercayakan kemenangan kepada pemain, bukan kepada emosinya sendiri. Penonton bukanlah wasit, karena itu para penonton harus membiarkan wasit yang menjadi pengadil dan menghargai setiap keputusannya. Dengan demikian maka penonton akan menikmati pertandingan yang baik.