(0.81275495412844) | (Ayb 1:1) |
(sh: Tuhan memberi, Tuhan mengambil (Rabu, 17 Juli 2002)) Tuhan memberi, Tuhan mengambilTuhan memberi, Tuhan mengambil. Apa yang Anda mengerti tentang arti kata "paradoks"? Banyak yang memahaminya sebagai "pertentangan". Dalam arti yang sebenarnya, "paradoks" bukanlah dua sifat yang berlawanan, melainkan dua sifat yang tampaknya berlawanan, namun sesungguhnya tidak. Semua karakter Tuhan terpadu dan saling mendukung, walaupun ada kalanya tampak berlawanan. Dengan kata lain, Tuhan tidak terbagi-bagi ke dalam beberapa sifat yang saling bertentangan. Dalam perikop awal kitab Ayub ini, ada suatu paradoks yang harus kita temukan jawabannya, yaitu mengapa Tuhan bekerja sama dengan Iblis! Pertama, Iblis mencobai manusia untuk menjatuhkannya; sebaliknya, Tuhan tidak mencobai manusia, Ia menguji manusia untuk memurnikannya (Yak. 1: 3,13). Yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan Ayub ialah, pada saat Iblis mencobai Ayub, Tuhan menguji Ayub - (ayat 12), dua niat yang berbeda, namun bergabung dalam satu peristiwa. Dengan kata lain, Tuhan tidak bekerja sama dengan Iblis. Kedua, Iblis meminta izin kepada Tuhan bukan untuk menunjukkan bahwa Iblis bekerja bagi Tuhan. Hal ini justru memperlihatkan bahwa Tuhan berkuasa penuh atas Iblis dan bahwa tidak ada yang terjadi di luar kuasa Tuhan. Iblis takluk kepada Tuhan. Kita aman dan tak perlu takut kepada Iblis sebab Tuhan jauh lebih berkuasa atasnya (bdk. 1Yoh. 4:4). Ketiga, Iblis berharap pencobaan ini akan menghancurkan iman Ayub, tetapi Tuhan tahu bahwa iman Ayub dapat bertahan dan malah akan bertambah murni. Bahkan dari mulut seorang Ayublah keluar dua seruan agung, "Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!" Apakah kita hanya mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?" Ayub menyadari bahwa segala yang pernah dimilikinya adalah pemberian semata. Ia bersyukur bisa menikmatinya walau hanya sejenak, dan ia bersedia melepaskannya. Ayub tidak menggenggam erat-erat harta miliknya sebab ia tahu bahwa memang bukan dialah pemiliknya. Bagaimana dengan kita? Renungkan: Hal apakah yang terpenting dalam kehidupan Anda selama ini? Berkat Tuhankah atau Tuhan yang memberkati? |
(0.81275495412844) | (Ayb 2:1) |
(sh: Tekun dalam kesalehan (Jumat, 26 November 2004)) Tekun dalam kesalehanTekun dalam kesalehan. Penilaian Allah tentang Ayub dalam perikop ini, sama tepat dengan penilaian penutur (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">3, 10). Bahkan komentar positif Allah kini bertambah: "Ia tetap tekun dalam kesalehannya, meskipun engkau telah membujuk Aku melawan dia untuk mencelakakannya tanpa alasan" (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">3b). Kenyataan reaksi Ayub terhadap rentetan malapetaka yang dialaminya, sekaligus membenarkan Ayub dan menyalahkan teori Iblis. Iblis berkata bahwa Ayub menganut "teologi berkat" maksudnya, ia seolah dekat Allah karena ada maunya yaitu sejauh Allah memberkatinya. Ayub membuktikan bahwa ia benar di hadapan Allah dan manusia bukan karena ada motivasi tersembunyi. Bukan Iblis jika sesudah salah dan kalah lalu berhenti menyerang. Ia merubah taktiknya meski harus mengganti kilahnya sebelumnya. Kesehatan adalah bagian utama dari hidup. Kehilangan harta tidak langsung mengganggu keberadaan seseorang. Kehilangan orang yang dikasihi memang luar biasa berat, namun tetap bukan serangan langsung ke diri seseorang. Kini iblis berkilah bahwa bila hidup Ayub langsung yang diserang, ia pasti akan meninggalkan Tuhan. Sekali lagi Allah mengabulkan pertimbangan Iblis itu (ayat 6). Lalu Ayub mengalami penyakit kulit dahsyat yang mengakibatkan penderitaan luar biasa (ayat 8). Lebih dahsyat lagi derita itu sebab istrinya menganjurkan dia untuk menyangkal Tuhan (ayat 9). Banyak orang kini pergi ke siapa saja dan memakai cara apa saja untuk mengusahakan kesembuhan. Sebagian besar dari cara-cara kesembuhan itu oleh Alkitab dinilai sebagai meninggalkan Allah dan mengganti-Nya dengan ilah lain. Artinya kita mengatakan bahwa hidup tanpa Allah lebih baik daripada tetap bersama Allah tetapi menderita. Jika Allah tidak mau/mampu menolong, lebih baik Ia dibuang dan diganti dengan yang lain. Jika Ia hanya mau menghukum tetapi tidak mau menolong, lebih baik kita mati saja. Akan tetapi, kesetiaan Ayub tidak tergoyahkan. Ia tetap menjaga hidupnya saleh meski harus menanggung derita yang tak ia pahami. Tekadku: Aku ingin tetap dekat Tuhan meski harus menderita! |
(0.81275495412844) | (Ayb 2:11) |
(sh: Penghibur sejati (Kamis, 21 Agustus 2003)) Penghibur sejatiPenghibur sejati. Ketika penderitaan mencapai puncaknya, siapakah dapat menghibur? Siapakah yang mampu melegakan hati yang sedang tertekan hebat? Adakah kata-kata yang dapat meredakan kegalauan hati? Pergumulan dahsyat yang dihadapi Ayub tidak dapat dikurangi bebannya hanya dengan nasihat atau kata-kata penghiburan. Ketiga teman Ayub, Elifas, Bildad dan Zofar, mengetahui hal itu. Sebagai rasa simpati atas penderitaan tersebut, mereka memilih untuk berdiam diri selama tujuh hari tujuh malam. Dalam kediaman itu mereka menangis bersama Ayub, mengoyak jubah dan menabur abu di kepala sebagai tanda berkabung bersama Ayub (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">1:20; 2:12). Apakah dengan berdiam diri ketiga teman Ayub itu dapat menghibur Ayub? Penderitaan seperti itu ternyata tidak dapat dihibur oleh upaya apapun. Namun paling tidak ketiga teman itu telah menempatkan diri dengan tepat, yaitu ikut merasakan penderitaan temannya. Sikap teman-teman Ayub ini tampaknya berhasil, untuk sementara waktu, memberikan penghiburan dan pengharapan bagi Ayub, bahwa ternyata teman-temannya tidak meninggalkannya. Siapa yang dapat memberikan penghiburan kepada Ayub? Jika teman-teman Ayub hanya mampu menunjukkan kepekaan akan penderitaan yang dialami Ayub, siapa mampu memberikan penghiburan seperti mereka? Hanya satu yang dapat memberikan penghiburan secara tuntas yaitu Roh Kudus. Dia adalah sumber penghiburan. Dia mampu menyentuh hati yang luka dan menyembuhkannya. Inilah janji dari Tuhan Yesus sendiri. Roh Kudus yang hadir adalah Roh Penghibur (Yoh. 14:26). Dia akan membantu orang percaya dalam kelemahannya, membantunya berdoa (Rom. 8:26) sehingga orang percaya sanggup menanggung pergumulan sedahsyat apapun. Renungkan: Hanya ada satu penghibur sejati yang sanggup mengatasi penderitaan seberat apapun. Sudahkah Anda mengenal-Nya? |
(0.81275495412844) | (Ayb 3:1) |
(sh: Penderitaan sementara (Jumat, 22 Agustus 2003)) Penderitaan sementaraPenderitaan sementara. Penderitaan adalah fakta kehidupan. Tidak seorang pun dapat terhindar darinya. Karena itulah maka setiap orang harus bisa menerima kenyataan tersebut dan mencari jalan untuk menghadapi dan melaluinya. Persoalannya, apa yang membuat manusia dapat bertahan menghadapi penderitaan? Ayub mengalami penderitaan yang mungkin paling dahsyat, yang pernah dirasakan oleh manusia. Penderitaan itu ia pikul dengan penuh kerelaan, tanpa sedikitpun mempersalahkan pihak lain, baik situasi, teman-temannya ataupun Tuhan. Namun ia membutuhkan kelepasan dari perasaan derita yang dialaminya. Ayub 3 adalah seruan terdalam hati Ayub dalam meresponi penderitaan yang maha dahsyat. Apa yang diungkapkan Ayub bukanlah pemberontakan terhadap kehendak Allah, melainkan perasaan sakit yang tak tertahankan akan penderitaan yang melanda hidupnya. Ayub memunculkan pertanyaan "mengapa" sebanyak empat kali. Ayub mempertanyakan hal ini kepada Allah. Ayub mulai menunjukkan kekecewaannya kepada Allah. Namun, Allah belum meresponsnya. Bagi Ayub hanya ada dua kemungkinan menghadapi penderitaan yang sedemikian pahitnya. Pertama, berharap untuk tidak pernah lahir di dunia ini sehingga tidak merasakan penderitaan (ayat 3-10). Kedua, meninggalkan dunia ini sehingga melepaskan diri dari tubuh yang menderita (ayat 11-26). Penderitaan dalam dunia ini sering membawa manusia kepada keputusasaan sehingga berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Sikap Ayub sebenarnya merupakan representasi dari sikap kita, orang-orang Kristen masa kini: [1] merespons penderitaan dengan kemarahan; [2] menggugat dan menuduh Allah karena tidak mengasihi kita; [3] mulai memperhitungkan kebaikan- kebaikan yang pernah kita lakukan bagi-Nya. Renungkan: Penderitaan tidak otomatis membuahkan kemantapan dan keteguhan iman. Proses pergumulan wajar harus kita lalui menuju kemenangan tersebut. |
(0.81275495412844) | (Ayb 5:1) |
(sh: Belajar menerima hajaran Tuhan (Selasa, 30 November 2004)) Belajar menerima hajaran TuhanBelajar menerima hajaran Tuhan. Tuhan seumpama bapak atau guru yang baik. Ia membimbing anak-anak-Nya ke sasaran-sasaran yang mulia melalui proses belajar yang panjang dan berat. Pelajaran yang ingin Ia tanamkan dalam kehidupan anak-anak-Nya ialah bahwa tidak ada sumber andal lain di luar Allah yang darinya orang boleh mendapatkan pertolongan (ayat 1). Ia menginginkan agar anak-anak-Nya berhikmat dan bukan bertindak bodoh (ayat 3). Ia ingin anak-anak-Nya belajar memilih Dia dan merangkul jalan serta kehendak-Nya menjadi harta berharga hidup mereka (ayat 8-16). Ajaran Tuhan itu sewaktu-waktu bisa berbentuk hajaran yang melukai dan berbagai kesukaran hidup lainnya. Namun, Ia baik adanya. Ia menghajar bukan untuk meremukkan tetapi untuk memulihkan dan menyempurnakan (ayat 18). Kira-kira demikianlah wejangan Elifas untuk Ayub. Tentu saja semua wejangan itu benar dan bukan barang baru bagi Ayub. Lebih lagi, kebenaran isi wejangan itu pun bukan teori lagi bagi Ayub, sebab ia saat itu justru sedang mengalaminya. Tidak salah bahwa Elifas mengingatkan orang seperti Ayub, kebenaran dan prinsip-prinsip hidup yang sudah diketahuinya bahkan sedang dijalaninya. Juga tidak salah mengingatkan kembali kepada orang yang sedang menanggung penderitaan, janji-janji pemulihan dari Tuhan. Orang yang hampir sempurna seperti Ayub pun, memang tidak sempurna, masih perlu diingatkan, ditegur, diteguhkan. Ironis bahwa Elifas kini seolah mengambil posisi Sang Guru sejati. Ia terlalu cepat ingin mengajar orang lain padahal diri sendiri belum tentu sepenuhnya sudah menerima ajaran itu dan memahami secara mendalam. Hanya orang yang sepenuhnya menyatu dengan kebenaran yang berhak mengajarkan kebenaran. Kesalahan kedua adalah memutarbalikkan yang umum dengan yang khusus. Prinsip umum harus juga memperhitungkan konteks dan kekecualian seperti yang firman sendiri ajarkan. Demikian pun pengalaman khusus tidak dapat begitu saja boleh diangkat menjadi prinsip umum. Camkan: Dengar dan terimalah dulu hajaran Tuhan buat diri sendiri sebelum bicara mengajar orang lain! |
(0.81275495412844) | (Ayb 6:1) |
(sh: Bukan selalu karena dosa (Kamis, 8 November 2012)) Bukan selalu karena dosaJudul: Bukan selalu karena dosa Penderitaan Ayub memang luar biasa. Harta benda ludes begitu saja, sepuluh anak tewas mengenaskan, dan tubuh dipenuhi penyakit kulit yang tak tertahankan. Bayangkan! Tidak banyak orang yang bermental baja untuk menghadapi situasi yang demikian berat. Tak heran bila Ayub merasa bahwa Tuhan sedang menghukum dia (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6:4). Lalu bagaimana respons Ayub? Ayub jujur mengatakan bahwa penderitaannya tidak tertahankan (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6:3-7). Bahkan, kematian menjadi kelepasan dari penderitaan (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6:8-14). Sahabat-sahabatnya pun bukan menghibur dan menolong, melainkan malah menghakimi dia (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6:15-20, 22-25). Ayub menantang balik mereka untuk membuktikan kesalahannya (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6:24-30). Di sisi lain, Ayub menyadari kefanaan manusia. Pasal Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">7 merupakan penuturan panjang mengenai manusia dalam pergumulan hidup karena ketidakberdayaan terhadap perlakuan Tuhan (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">7:17-19). Sekali lagi bagi Ayub kematian adalah kelepasan dari dari penderitaan (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">7:15-16). Ia juga bersikukuh bahwa ia tidak berdosa sehingga pantas menerima semua itu (Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">7:20-21). Dalam situasi seperti itu, yang dibutuhkan Ayub bukanlah tuduhan, tetapi empati. Perkataan Elifas menempatkan Ayub sebagai pendosa besar, dan ini jelas sukar diterima Ayub. Tak heran ia bereaksi demikian keras. Perkataan Elifas menjadi pelajaran penting dalam menghadapi orang yang sedang kemalangan. Kita perlu berhati-hati dengan perkataan kita yang bertujuan menghibur orang yang kemalangan, tetapi nyatanya seolah hakim yang menjatuhkan vonis kepada terdakwa. Pahamilah bahwa pengalaman kita belum tentu sama dengan pengalaman orang lain. Karena itu jangan berdiri lebih tinggi dari orang yang sedang kemalangan, melainkan duduklah sama rendah agar kita dapat menjadi sahabat yang baik bagi dia. Diskusi renungan ini di Facebook:
|
(0.81275495412844) | (Ayb 8:1) |
(sh: Logis tetapi salah (Jumat, 3 Desember 2004)) Logis tetapi salahLogis tetapi salah. Bildad kini ganti berbicara, tajam dan terus terang, langsung memojokkan Ayub. Penderitaan itu tak lain adalah hukuman Allah atas dosa-dosa Ayub. Karena itu, anjurannya sederhana sekali. Bertobat, Allah akan mengampuni dan memulihkan bahkan jauh melebihi kondisi sebelumnya. Alur pemikiran Bildad sederhana, logis, dan tampaknya teologis juga. Begini: Allah tidak mungkin menghukum semena-mena, hanya kepada orang berdosa hukuman itu Ia jatuhkan. Penderitaan adalah wujud hukuman Tuhan. Karena Ayub sedang menderita, berarti Ayub dihukum Tuhan. Jadi jelas bahwa Ayub berdosa. Ada dua kesalahan Bildad dalam pemikiran itu. Pertama, bila hukuman membuat orang menderita, tidak harus berarti bahwa semua penderitaan adalah hukuman. Bildad tidak memberi tempat bagi tindakan Tuhan yang memang memberatkan hidup manusia namun, bukan sebagai hukuman melainkan alat atau proses pemurnian untuk orang yang dikasihi-Nya. Kedua, menyimpulkan kondisi moral-spiritual seseorang dari kondisi lahiriah yang sedang dialaminya adalah hal keliru (ayat 6). Kondisi moral-spiritual seseorang seharusnya dinilai dari fakta konkret kehidupan moral-spiritualnya bukan dari kondisi lahiriahnya. Bildad jelas menolak evaluasi dari penutur dan dari Allah sendiri tentang integritas Ayub sebab telah meragukan kesucian dan kejujuran Ayub (ayat 6). Ada tuduhan lain lagi yang dilecutkan Bildad kepada Ayub. Ia menuduh Ayub sombong dan tidak mau merendahkan diri untuk belajar dari orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman. Bildad menuduh Ayub sebagai semacam orang muda yang menolak wibawa orangtua, tradisi, guru-guru, orang-orang berhikmat (ayat 8-10). Ini adalah falsafah yang mirip falsafah kita di Timur. Pandangan orangtua dan yang dituakan dianggap menyuarakan pendapat Allah sendiri. Dalam wawasan dunia orang Timur, semakin tua semakin berilmu, semakin bertenaga dalam, semakin menyerupai yang ilahi. Jadi kesalahan menolak Allah pada Ayub itu pastilah karena ia mengabaikan nasihat orang-orang tua. Renungkan: Jangan-jangan kedangkalan pemahaman Alkitab kita membuat ucapan kita menyakiti hati sesama. |
(0.81275495412844) | (Ayb 11:1) |
(sh: Jangan cepat-cepat menghakimi (Rabu, 24 Juli 2002)) Jangan cepat-cepat menghakimiJangan cepat-cepat menghakimi. Bagaimanakah kita bersikap terhadap orang yang sedang marah kepada Tuhan? Apakah seperti Zofar yang meminta Ayub untuk langsung mengakui dosanya dan tidak lagi mengumbar gugatan kepada Tuhan? Sebetulnya di balik kemarahan Ayub tersembunyi kesedihan yang dalam. Ayub sudah berjalan begitu akrabnya dengan Tuhan, namun Tuhan "tega" menimpakan musibah ini kepadanya, seakan-akan sahabat baiknya itu telah berbalik dan mengkhianatinya. Itu sebabnya Ayub meradang kesakitan. Malangnya, hal inilah yang luput dilihat oleh Zofar - dan mungkin oleh kita semua - karena terlalu sibuk "membela" Tuhan. Dapat kita bayangkan perasaan Ayub mendengarkan tuduhan teman-temannya; ibaratnya sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Bukannya pembelaan dan pengertian yang didapatnya, melainkan tudingan dan penghakiman! Secara teologis ucapan-ucapan Zofar memaparkan hal-hal yang tepat yang harus dilakukan oleh Ayub. Namun, ucapan-ucapannya tersebut tidak disertai dengan hal-hal yang aplikatif yang sesuai dengan tanda-tanda kehidupan. Penderitaan yang dialami seseorang tidak dapat hanya disentuh oleh penjelasan-penjelasan teologis. Penjelasan teologis harus disertai bahkan sarat dengan nilai-nilai kehidupan yang menyentuh dan dalam. Orang yang menderita tidak membutuhkan konsep-konsep teologis yang muluk. Yang mereka butuhkan adalah tindakan nyata dari konsep tersebut. Dari bacaan ini dapat disimpulkan bahwa kita tidak akan dapat memahami berapa beratnya keberdosaan kita, sampai kita berusaha hidup kudus. Dengan kata lain, kita baru dapat menyadari betapa berdosanya kita, setelah kita mencoba untuk hidup benar. Kesadaran inilah yang seharusnya membuat kita berhati-hati menilai orang dan tidak sembarangan menuding orang. Pada faktanya, kebanyakan kita menyadari kesalahan yang kita perbuat; masalahnya adalah, kita sulit melawan hasrat untuk berdosa itu. Renungkan: Tuhan membenci dosa, tetapi Ia mengasihi orang yang berdosa. Sebaliknya dengan kita: mengasihi dosa tetapi membenci orang yang berdosa. |
(0.81275495412844) | (Ayb 11:1) |
(sh: Zofar berusaha 'membela' Allah (Senin, 6 Desember 2004)) Zofar berusaha 'membela' AllahZofar berusaha `membela' Allah. Zofar menyatakan penyebab penderitaan Ayub adalah kesalahan dan dosanya. Menurut Anda benarkah demikian? "Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas kekuasaan Yang Mahakuasa?"(ayat 7). Zofar menyatakan pertanyaan teologis yang sulit dijawab, bukan hanya oleh Ayub, melainkan oleh siapa pun juga. Allah memang tidak terpahami dalam hakekat-Nya, siapakah yang dapat mengerti Allah? Zofar mengatakan bahwa Allah tidak dapat dibandingkan dengan kehebatan alam ciptaan mana pun, sebab Allah jauh melampaui semua buatan tangan-Nya (ayat 8-9). Zofar juga menyatakan bahwa kedaulatan Allah yang dikaitkan dengan ke-Mahatahuan-Nya tidak dapat dibantah oleh manusia (ayat 10-11). Oleh karena itu, Zofar menganjurkan agar dalam hatinya Ayub bersedia berbalik kepada Allah serta menjauhkan diri dari semua kejahatannya (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">13-15). Dengan berlaku demikian, Ayub hidup sebagai orang benar dengan memperoleh ganjarannya yaitu bahwa orang benar akan merasa aman, tenteram, dan berpengharapan (ayat 18). Pada masa kini, ujaran Zofar ini mewakili orang Kristen yang "main hakim" sendiri dengan menyatakan hal yang sama. Yaitu langsung memvonis bahwa penyebab anak Tuhan menderita adalah dosa yang dibuatnya. Benarkah demikian adanya? Melalui ucapan Zofar, terlihat bahwa ia menyepelekan penderitaan yang sedang Ayub alami. Zofar tidak peka untuk menempatkan dirinya pada posisi sahabatnya. Alangkah berat tanggungan derita Ayub di tambah oleh tekanan `penghakiman' Zofar ini. Zofar, sahabat yang seharusnya mengerti dan bersimpati terhadap penderitaan Ayub, kini malah tampil menjadi seorang hakim yang menambah dan memperberat pencobaan Ayub. Memang sulit bagi kita untuk sungguh bersimpati kepada orang-orang yang menderita jika kita sendiri tidak berada dalam keadaan itu. Terlebih lagi jika kita belum pernah mengalami penderitaan serupa. Camkankanlah: Jangan menjadi "Zofar masa kini". Bersikaplah kaya anugerah terhadap sesama yang sedang menderita. Itulah tanda dari orang yang hidup dalam anugerah Tuhan. |
(0.81275495412844) | (Ayb 12:1) |
(sh: Membandingkan diri (Kamis, 25 Juli 2002)) Membandingkan diriMembandingkan diri. Ketika kita menderita salah satu godaan terbesar pada saat itu ialah membandingkan penderitaan yang diri kita alami dengan kebahagiaan orang lain. Ini adalah respons manusiawi; kita cenderung mengukur keadilan dari sudut, apakah orang lain menerima yang sama seperti yang kita terima atau tidak. Tetapi, dampak dari sikap ini adalah kekecewaan yang dalam terhadap Tuhan. Kita mulai mengklaim bahwa Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi kita. Tampaknya Ayub terperangkap di dalam jebakan yang serupa. Pada ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">6, Ayub mengeluh dengan sinis. Ayat ini merupakan pengkontrasan dengan ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">4, ketika Ayub berseru dan seakan menyesali kondisinya, "Aku menjadi tertawaan sesamaku … orang yang benar dan saleh menjadi tertawaan." Ayub menganggap bahwa ia telah diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal ini terjadi pada dirinya, sedangkan ia telah hidup saleh? Tuhan tidak adil karena telah menghadiahinya penderitaan. Sebaliknya, orang yang hidup dalam dosa, menurut Ayub, justru menikmati ketenteraman. Dalam penderitaan, Ayub membandingkan diri dengan orang lain. Ini sangat berbahaya karena ia menuntut keadilan Tuhan. Melalui perikop ini, kita belajar bahwa beberapa hal yang penting dan perlu untuk kita pelajari dan pahami dalam perjalanan iman kita adalah pertama, bahwa apa yang menjadi bagian kita adalah wujud dari keadilan dan kasih Allah. Kedua, menerima bagian kita apa adanya tanpa harus membandingkannya dengan bagian orang lain. Tuhan tidak mengharapkan agar kita dapat memahami seutuhnya setiap tindakan-Nya, namun Ia mengharapkan supaya kita mempercayai-Nya, bahwa Ia adalah Allah yang baik, kudus, dan adil. Renungkan: Ketika kita berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak jarang kita menemukan kegagalan, kegagalan yang sering kali juga diciptakan oleh konsep rohani yang sempit dan dangkal. Akibatnya, kita mulai berpikir bahwa tidak mudah memahami kesulitan hidup. Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hanya dalam Kristus sajalah kebenaran itu mewujud. |
(0.81275495412844) | (Ayb 18:1) |
(sh: Hati-hati menuduh sesama sebagai orang fasik (Senin, 13 Desember 2004)) Hati-hati menuduh sesama sebagai orang fasikHati-hati menuduh sesama sebagai orang fasik. Keadilan Tuhan pasti menghukum orang fasik. Hanya ada satu cara menghindarkan diri dari hukuman yaitu: bertobat, mengaku dosa, dan memohon pengampunan-Nya. Itulah yang diungkapkan Bildad menjawab sikap tegar Ayub bahwa dirinya tidak berdosa (ayat 2-4). Masalahnya, apa bukti Ayub berdosa? Bildad mulai dengan mengecam sikap Ayub yang dianggapnya sombong, seakan-akan dirinya dan teman-temannya bersikap bodoh dalam menuduh Ayub berdosa (ayat 1-4). Lalu Bildad meneruskan perkataannya dengan menguraikan nasib orang fasik (ayat 5-21). Pertama, orang fasik yang tampaknya bernasib terang, akan mengalami kegelapan yang menyebabkan ia akan terhambat dalam jalan kejahatannya (ayat 5-7). Kedua, orang fasik akan mengalami nasib buruk terjebak oleh perangkap yang dipasangnya sendiri, seperti seorang pemburu terkena umpannya sendiri (ayat 8-10). Ketiga, segala "nasib sial" akan mengejarnya ke mana pun ia pergi, yakni: kelaparan, penyakit, dan bahkan kematian. (kata "kemah" di sini menunjukkan tubuhnya) (ayat 11-15). Keempat, orang fasik akan binasa dalam keadaan miskin, kesepian, dan menderita (ayat 16-21). Terdapat dua kesalahan dalam paparan Bildad tentang orang fasik ini. Kesalahan pertama adalah Bildad hanya menguraikan nasib `lahiriah' dari orang fasik. Kenyataannya justru banyak orang fasik yang secara lahiriah hidup menyenangkan. Sesungguhnya kesusahan orang fasik lebih bersifat psikis dan hati nurani. Kesalahan kedua adalah Bildad `salah alamat' dengan mengidentikkan Ayub sebagai orang fasik, padahal tak satu pun tuduhan para sahabat Ayub bahwa Ayub berdosa terbukti. Alkitab menyatakan orang fasik dimurkai Tuhan. Bildad tak berhak meyakini bahwa Ayub adalah orang fasik. Kekeliruan Bildad ini disebabkan hanya melihat penderitaan fisik Ayub saja. Sebenarnya bukan tugas kita untuk menilai bahkan menghakimi orang lain. Hanya firman Tuhan yang boleh dijadikan ukuran fasik tidaknya seseorang. Camkan: Ukuran yang Anda pakaikan kepada orang lain akan dipakai untuk mengukur Anda. |
(0.81275495412844) | (Ayb 20:1) |
(sh: Penghakiman Zofar (Kamis, 1 Agustus 2002)) Penghakiman ZofarPenghakiman Zofar. Di akhir pasal Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">19 Ayub membuat dua pernyataan penting. Pertama pengakuan iman (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">19:25-27), kedua peringatan agar para sahabatnya tidak terus menghakimi dirinya (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">19:28-29). Namun, pernyataan Ayub tersebut malah ditanggapi Zofar dengan kemarahan (ayat 2). Ia terus mencurahkan kalimat-kalimat penghakiman yang berapi-api, dan bahkan meneruskannya dengan semacam permohonan agar kutukan Allah berlaku (ayat 23). "Pelajaran" dari Zofar merupakan pertimbangan spiritual atas dasar logika sederhana. Dosa tidak akan menghasilkan keberuntungan apalagi kebahagian abadi. Sebaliknya, kebahagiaan orang berdosa hanya singkat usia (ayat 4-7), ia sendiri akan mati dalam kehancuran (ayat 8), orang-orang dekatnya akan menderita (ayat 9-11). Pendapatnya ini bukan hanya sekali ia ungkapkan, tetapi diulanginya lagi dalam ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">12-28. Salahkah atau benarkah Zofar berpendapat demikian? Ada benarnya bahwa Tuhan tidak mendiamkan, tetapi akan membuat dosa orang balik mengejar dan menimbulkan akibat-akibat buruk pada orang yang melakukannya. Karena itu, ucapan Zofar ini memang patut kita simak. Namun, pendapat Zofar ini sempit dan tidak mempertimbangkan beberapa faktor dan kemungkinan lain. Ia tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa penghakiman Allah itu ditunda sementara waktu dan baru berlaku pada penghakiman kekal kelak. Jadi, bisa terjadi bahwa dalam dunia yang sementara ini, orang jahat berbahagia dalam hasil-hasil yang didapatnya dari tindakan berdosa, sementara orang benar justru harus menderita karena tidak ambil bagian dalam dosa. Juga Zofar tidak membuka kemungkinan bagi orang berdosa untuk bertobat, memperbaiki tindakan salah, dan mengubah kelakuannya. Kesalahan Zofar paling serius adalah melihat realitas spiritual semata secara materialistis. Renungkan: Sikap yang benar ialah kita taat kepada Tuhan dan firman-Nya bukan karena takut hukuman atau karena ingin mendapatkan pahala. Ketaatan dan kesalehan yang benar lahir dari keyakinan bahwa Tuhan benar dan baik adanya, dan karena itu kita bersyukur dan mengasihi-Nya. |
(0.81275495412844) | (Ayb 22:1) |
(sh: Dosa sosial (Sabtu, 3 Agustus 2002)) Dosa sosialDosa sosial. Bila dalam ucapan-ucapannya sebelumnya Elifas terdengar sebagai yang paling menahan diri dari menuduh dan berupaya untuk menghibur Ayub (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">4:6; 5:17), kini terang-terangan Elifas menuduh Ayub dihukum Tuhan karena dosa-dosanya. Seperti halnya ucapan Zofar dan Bildad, ucapan Elifas ini pun mengandung kebenaran. Firman Allah tidak saja melarang orang dari melakukan perbuatan salah, tetapi juga mendorong orang untuk berbuat benar. Perintah-perintah Allah dalam Taurat maupun uraiannya, serta ucapan para nabi, menegaskan dua sisi sifat perintah-perintah Allah itu. Karena itu, kejahatan tidak saja harus berbentuk melakukan yang jahat terhadap orang lain, tetapi bisa juga dalam bentuk menahankan yang baik terhadap orang lain. Dosa-dosa juga tidak saja bersifat individual tetapi bisa pula bersifat sosial. Bahkan dalam sorotan Alkitab, aspek sosial menjadi ukuran dari kesungguhan spiritualitas seseorang. Dengan terang-terangan, kini Elifas menuduh Ayub telah melakukan dosa-dosa sosial dalam bentuk menerima gadai (ayat 6), tidak peduli terhadap orang miskin (ayat 7) dan menelantarkan para janda dan yatim piatu (ayat 9). Kelak Ayub akan menegaskan kembali bahwa tuduhan bahwa dirinya telah melakukan ketidakpedulian sosial ini pun tidak benar (ps. 29). Maju selangkah lebih jauh, Elifas juga menuduh bahwa Ayub telah meremehkan Allah. Rupanya Elifas menafsirkan ucapan-ucapan Ayub sejauh ini yang membela bahwa dirinya benar di hadapan Allah sebagai kemunafikan. Seolah Ayub menganggap Allah dapat dikelabui atau Allah tidak peduli terhadap benar atau salahnya perbuatan orang. Berdasarkan pengandaian keliru ini, Elifas lalu mengunci khotbahnya dengan undangan agar Ayub bertobat (ayat 21-30). Undangan untuk bertobat diikuti dengan janji yang mengandung kebenaran: Orang yang bertobat dan mengikuti jalan benar, akan diperkenan Tuhan dan beroleh berkat-berkat-Nya. Sayang semua kebenaran ini berasal dari orang yang tidak pernah membuka mata dan telinga hatinya kepada rintihan rohani sahabatnya, Ayub. Renungkan: Meski tidak beroleh keberuntungan sosial, kita tetap harus memiliki kepedulian sosial. |
(0.81275495412844) | (Ayb 29:1) |
(sh: Mengingat: Antara Syukur dan Kesesakan (Kamis, 8 Agustus 2002)) Mengingat: Antara Syukur dan KesesakanMengingat: Antara Syukur dan Kesesakan. Debat telah berakhir. Ayub kini berbicara sendirian (ps. 29-31), seakan-akan tak berharap didengar lagi oleh siapa pun (kecuali dalam Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">30:20-23, Ayub ingin didengar Allah). Dalam ps. 29, Ayub meratapi kehilangan statusnya yang mula-mula ketika ia hidup seperti "seorang raja di antara rakyatnya" (ayat 25). Pertama-tama, Ayub berusaha menarik simpati Allah dengan melontarkan ucapan-ucapan tentang bagaimana Allah telah menjadi sahabatnya yang memelihara dan memberinya berkat Ilahi yang berkelimpahan (disimbolkan dengan "terang" dalam ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">3). Kebahagiaannya sempurna dengan keluarga dan kekayaan yang melimpah. Lebih dari itu, Ayub adalah orang yang bergaul akrab dengan Allah. Selain kemakmuran, Ayub juga memiliki kehormatan (ayat 7-11). Ayub kaya baik secara materiil maupun secara sosial. Ia memiliki status tinggi bangsawan. Ayub dihormati bukan hanya karena rakyat takut, tetapi karena kebijakan-kebijakannya yang dikagumi (ayat 11-17). Ayub menampilkan ciri penguasa yang benar, yang membela kaum tertindas dan tak berdaya. Ini adalah gambaran pemimpin yang ideal dalam konteks Timur Dekat purba. Kembali Ayub berbicara tentang kemakmuran (ayat 18-20). Ia berharap dengan modal kehidupannya yang begitu bersih, ia akan kembali mendapatkan kemuliaannya. "Bersama dengan sarangku … binasa" mungkin menunjukkan "kematian yang baik", kematian yang dikelilingi oleh keluarga tercinta. Ia juga berharap menjadi seperti burung feniks, yang zaman itu dianggap mampu memperbaharui hidupnya setelah mengalami kematian. Menutup pasal ini, Ayub kembali berbicara tentang kehormatan (ayat 21-25). Ayub memiliki hikmat dan katakatanya bagaikan kesegaran yang menyirami tanah kering-kerontang. Ayub juga menunjukkan kualitasnya sebagai pemimpin kala ia tersenyum kepada orang-orang yang tidak mau mempercayai katakatanya. Mereka hanya mau menerima berkat dari Ayub. Renungkan: Mengingat masa lalu bisa membahagiakan, bisa menyesakkan. Lihatlah kehilangan Anda dalam kacamata Ilahi. |
(0.81275495412844) | (Ayb 34:1) |
(sh: Orang pandai yang bodoh (Selasa, 13 Agustus 2002)) Orang pandai yang bodohOrang pandai yang bodoh. Walau Elihu menjamin ingin membela Ayub (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">33:32), dalam pasal ini jelas bahwa ia memihak teman-teman Ayub. Masalahnya jelas: dengan mengaku dirinya bersih, Ayub menuduh Allah tidak adil. Karena itu, Ayub harus memohon belas kasihan Allah. Elihu berbicara di muka orang-orang berhikmat yang akan menentukan kebenaran (ayat 1-4). Ia mulai mengajukan kasusnya dengan mengutip tuduhan Ayub kepada Allah (ayat 5-6). Namun, dia menyerang Ayub dengan menyatakan bahwa Ayub hidup tak bermoral (ayat 7-8), sebuah tuduhan yang tidak adil karena tanpa bukti. Ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">9 menunjukkan keraguan Ayub bahwa hidup dikenan Allah tidak menjamin keadaan akan seperti demikian terus. Maka, Elihu melihat bahwa Ayub bukan hanya menuduh Allah tidak adil, tetapi sedang menghujat Dia. Karena itu, ia mengimbau agar orang-orang (maksudnya Ayub) menjadi berhikmat (ayat 10). Dengan berbagai argumen Elihu menegaskan bahwa Allah tidak mungkin salah dan bahwa manusia mutlak tergantung pada-Nya (ayat 11-15). Setelah itu, Elihu berkata-kata kepada Ayub (ayat 16-37). Bukankah Allah tidak mungkin memerintah bumi kalau Ia jahat (ayat 17)? Allah memakai kekuasaan-Nya untuk kebaikan, menunjukkan Allah yang tidak pilih kasih (ayat 18-20). Ayub, yang sedang kesusahan dan terpuruk dalam debu, sulit mengerti argumen ini. Ucapan Elihu seterusnya tentang penghakiman Allah secara tidak langsung menyindir Ayub. Orang jahat tidak bisa lari dari Allah karena Allah mahatahu dan kesalahan pasti dihukum, dan sebenarnya Elihu menuduh bahwa Ayub menindas orang miskin (ayat 21-30). Bagian ini ditutup dengan keputusan tentang Ayub (ayat 31-37). Ayub telah melakukan dosa kebodohan dan ia harus mengaku dosa dan meminta hikmat kepada Allah. Elihu mengharapkan agar Ayub menerima usulannya agar tidak dihukum. Elihu juga meminta para pendengar lain mendukung pikirannya: Ayub bodoh dan kekerasan hatinya menambah kesalahannya. Renungkan: Orang yang pandai selalu menyadari keterbatasannya. Orang bodoh selalu merasa pandai dan menganggap orang lain bodoh. |
(0.81275495412844) | (Ayb 37:1) |
(sh: Memuji dalam kegelapan (Jumat, 16 Agustus 2002)) Memuji dalam kegelapanMemuji dalam kegelapan. Setelah berbicara tentang pengendalian Allah terhadap alam, pasal ini ditutup dengan peringatan bahwa Allah harus ditakuti dan dihampiri dengan kerendahan hati (ayat 23-24). Elihu mulai dengan mengakui ketakutannya mendengarkan guntur kemarahan Tuhan (ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">1-2, 36:33). Hal ini harus dikaitkan dengan kenyataan bahwa Allah melakukan hal-hal ajaib melampaui pengertian manusia (ayat 5). Guruh bukan sekadar fenomena alam, tetapi merupakan alat Allah untuk memperingatkan manusia. Allah, misalnya, juga ingin menunjukkan kuasa-Nya kepada makhluk bumi dengan mengirimkan salju dan hujan deras (ayat 6-8). Binatang-binatang pun terpaksa mencari tempat perteduhannya. Elihu juga mendaftarkan hal-hal yang menunjukkan kendali Allah atas cuaca (ayat 9-12), semuanya mengikuti petunjuk Allah. Kemudian kembali Elihu berbicara hanya untuk Ayub (ayat 14-18). Ia mengundang Ayub untuk kembali mengingat kendali Allah terhadap langit dan bertanya dengan ironis apakah Ayub mampu melakukan hal-hal itu. Elihu menuduh bahwa dengan Ayub memajukan kasusnya, ia menganggap dirinya sama dengan Allah. Ayub dipaksa mengakui keterbatasannya. Perlu dicatat bahwa pertanyaan-pertanyaan ironis ini pun akhirnya nanti diajukan Allah sendiri (pasal Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">38-41). Ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">19-24 berisi ringkasan dari perkataan-perkataan Elihu. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa Ayub begitu tak berakal budi ketika menetapkan diri untuk berkonfrontasi melawan Allah. Allah begitu mulia dan dengan demikian tuduhan Ayub sia-sia. Allah hanya boleh ditakuti dan disembah. Topik utama dalam ayat Di+AND+book%3A18&tab=notes" ver="">19-22 adalah kontras antara terang dan gelap. Allah begitu terang, dan manusia yang hidup dalam kegelapan bahkan tidak mampu memandang Allah -- Ia tak terhampiri. Bagaimana mungkin manusia yang ada dalam kekelaman, tak berpengetahuan, bisa memajukan kasusnya di hadapan Allah yang memiliki terang hikmat sempurna? Tak mungkin manusia menemukan Allah (ayat 23). Renungkan: Kala Anda tidak memahami Allah, pujilah Dia dan sembahlah keagungan-Nya. Biarlah hikmat-Nya turun atas kita. |
(0.80898748623853) | (Ayb 12:1) |
(sh: Tunduk pada hikmat Allah! (Selasa, 7 Desember 2004)) Tunduk pada hikmat Allah!Tunduk pada hikmat Allah! Orang sombong merasa diri lebih pandai dan berhikmat daripada orang lain. Mereka merasa tahu segala sesuatu, orang lain tidak tahu apa-apa. Mereka bisa begitu karena hanya membanding-banding dengan orang lain. Seharusnya mereka membandingkan dengan hikmat Tuhan! Ayub merasa sikap sok tahu teman-temannya itu membutakan mata mereka dari kebenaran sejati (ayat 2). Apa yang mereka tahu, Ayub juga tahu. Namun, Ayub, yang doa seruan-Nya didengar Allah sadar akan keterbatasan diri untuk mengerti misteri kehidupan. Hikmat sejati membimbing pada pemahaman yang benar. Hikmat sejati tidak menjadikan orang sombong apalagi menghakimi bahwa orang yang menderita pasti berdosa sehingga patut mendapat hinaan. Sebaliknya mereka yang sombong telah berlaku fasik dengan menyangka bahwa sikap yang sedemikian tidak akan dimurkai Allah. Kesombongan mereka menjadi-jadi seakan mereka sejajar dengan Allah (ayat 2-6). Ayub mengajak mereka belajar dari dunia ciptaan lainnya. Semua makhluk yang sederhana mengetahui Allah sebagai pencipta mereka (ayat 7-11). Apalagi seharusnya manusia. Bahkan orang tua yang berpengalaman sekali pun tidak boleh merasa diri paling berhikmat (ayat 12). Karena sumber hikmat dan kuasa ada pada Allah. Dengan hikmat dan kuasa-Nya Ia menetapkan segala sesuatu. Alam ada dalam kendali-Nya (ayat 14-15). Hikmat dan kekuasaan para pemimpin tidak berdaya di hadapan-Nya (ayat 17-25). Bila Allah sudah menetapkan sesuatu, maka manusia hanya bisa tunduk menerima. Orang paling pintar pun bisa hilang akal bila mau melawan kedaulatan dan hikmat-Nya. Memang mudah untuk merasa diri paling tahu dari antara orang lain. Akan tetapi, orang Kristen insyaf bahwa pengetahuan Allah tidak terbatas. Maka berhentilah sok tahu tentang sebab musabab masalah orang lain seakan-akan Anda mahatahu. Jadilah orang yang rendah hati. Mintalah hikmat Allah supaya kata-kata Anda menjadi saluran kasih Allah bagi orang yang menderita. Renungkan: Dalam kerendahan hati orang yang tidak tahu apa-apa bisa menghibur sesama yang menderita oleh hikmat ilahi. |