Teks Tafsiran/Catatan Daftar Ayat
 
Hasil pencarian 1761 - 1780 dari 2193 ayat untuk terhadap [Pencarian Tepat] (0.004 detik)
Pindah ke halaman: Pertama Sebelumnya 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 Selanjutnya Terakhir
Urutkan berdasar: Relevansi | Kitab
  Boks Temuan
(0.12366116216216) (Mzm 39:1) (sh: Allah adalah pihak yang paling tepat (Rabu, 4 Juni 2003))
Allah adalah pihak yang paling tepat

Allah adalah pihak yang paling tepat. Benarkah sikap Daud ini ketika ia menghadapi orang-orang jahat? Jika kita di tempat Daud, apa yang biasanya kita lakukan? Duduk dan berdiam diri atau meluapkan kemarahan? Marah terhadap sesuatu yang salah adalah wajar, tetapi jika permasalahan dihadapi dengan sikap diam, bukankah itu hanya akan menambah penderitaan? Akibat dari diam atau mendiamkan bisa membuat kita hidup dalam tekanan -- depressi dan stress.

Dalam pikirannya semula, Daud menyatakan keinginannya untuk tutup mulut, sebagai jalan "paling aman" menurut Daud. Keputusan Daud ini didasarkan pada dua hal: [1] ia tidak mau kedapatan menuduh Allah berlaku tidak adil atau berbuat kesalahan; [2] ia tidak mau memberikan kesempatan kepada orang fasik untuk menyerang dia atau menghina Allah karena ucapannya. Tetapi keputusan tersebut ternyata justru memperberat penderitaannya. Akhirnya Daud menyadari bahwa menutup mulut itu bukan saja tidak tepat, tetapi juga tidak sehat.

Dari keputusan Daud ini kita belajar bahwa menahan amarah hanya akan menyebabkan kita stress, tetapi melampiaskan amarah dalam kata- kata keras menyakitkan pun tidak menyelesaikan masalah. Daud menolong kita menemukan pilihan yang tepat dan sehat: membicarakannya dengan Tuhan. Menarik bukan? Kapan terakhir kali kita membicarakan permasalahan kita dengan Tuhan?

Pergumulan seperti yang Daud alami pun dialami oleh orang beriman. Tetapi, kita tidak dapat menanggungnya sendiri jika hanya berdiam diri, atau dengan membalas berbuat jahat. Segala pergumulan itu perlu untuk diarahkan secara benar kepada Tuhan sebagai pihak yang paling tepat, yang mampu mendukung kita.

Renungkan: Siapa lagi yang dapat memberi kita jiwa yang sehat kalau bukan Dia yang dalam Roh-Nya kini mendampingi kita sebagai Penasihat dan Penghibur?

(0.12366116216216) (Mzm 42:1) (sh: Merindukan Allah (Minggu, 12 Agustus 2001))
Merindukan Allah

Merindukan Allah. Pernahkah Anda merasakan kegalauan rasa rindu yang tak terbendung ketika terpisah dari orang-orang yang Anda cintai? Hasrat seperti inilah yang dirasakan pemazmur.

Pemazmur merindukan Tuhan dengan hasrat yang sedemikian besar, tak tertahankan lagi dan harus segera mendapat pemenuhannya (ayat 1- 3). Ia haus, gundah gulana, tertekan, dan gelisah ketika menyadari keberadaan dirinya yang telah jauh dari Allah (ayat 3, 5, 6, 7, 12). Ia memenuhi hari-harinya dengan air mata karena celaan lawannya yang menikam tulang-tulangnya: "Di manakah Allahmu?" (ayat 4, 11). Ia sedemikian takut terpisah dari Allah sehingga berseru: "Mengapa Engkau melupakan aku? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh?" (ayat 10). Kerinduannya yang sedemikian dalam ini tidak terobati oleh album kenangan yang dipenuhi dengan memori indah. Ingatannya tentang sorak-sorai, nyanyian syukur, dan perayaan yang pernah dinikmatinya di rumah Allah, maupun kenangan manis yang menjadi sejarah tidaklah memuaskan hasratnya, tetapi sebaliknya justru membawanya semakin tenggelam dalam ketakutan, keputusasaan, dan kegelisahan hati (ayat 5-6, 7-8). Harapan satu-satunya, yang memungkinkannya untuk kembali bersyukur hanyalah ditemukan di dalam Tuhan.

Getaran rasa rindu yang sedemikian besar terhadap Tuhan seringkali tidak kita miliki. Hal ini dapat terjadi karena kita tidak menyadari bahwa kebutuhan kita yang terdalam, tidak lain adalah Allah yang hidup, sumber kehidupan kita (ayat 3, 9). Dialah sumber pertolongan yang melindungi dan memerintahkan kasih setia-Nya (ayat 6, 9, 12).

Renungkan: Apakah kita menyadari bahwa diri kita tidaklah mungkin dapat terpisah dari Allah karena kita tidak dapat hidup tanpa Dia? Dialah kebutuhan kita yang paling mendasar, dan tanpa Dia keberadaan kita tidaklah berarti apa-apa.

Bacaan untuk Minggu ke-10 sesudah Pentakosta

II Raja-raja 4:42-44

Efesus 4:1-6, 11-16

Yohanes 6:1-15

Mazmur 145

Lagu: Kidung Jemaat 402

Pa 6 Mazmur 40

Mazmur ini merupakan cerminan hati Daud tentang hasratnya yang sedemikian kuat kepada Tuhan. Hasrat ini terus bertumbuh seiring dengan pertumbuhan keyakinan dan harapannya yang tidak pudar melintasi berbagai problematika kehidupan. Hasrat ini bukanlah dibangun di atas harapan yang semu ataupun keyakinan yang tidak beralasan, melainkan dibangun di atas dasar kasih setia Tuhan yang dapat dipercaya.

Pertanyaan-pertanyaan pengarah:

1. Pada ayat 2-6 Daud memuji Tuhan atas apa yang sudah Tuhan kerjakan baginya. Bagaimanakah Daud menggambarkan pertolongan Tuhan kepadanya (ayat 2b-4a)? Apakah hubungan antara karya Tuhan ini dengan hasratnya kepada Tuhan (ayat 2a)? Dampak apakah yang dihasilkan oleh pertolongan Tuhan tersebut (ayat 4b)? Bagaimanakah hal ini mempengaruhi cara pandang Daud tentang Tuhan dan orang yang berbahagia (ayat 5, 6)?

2. Mengapakah Daud memohon agar Tuhan tidak menahan rakhmat-Nya melainkan segera menolongnya (ayat 12, 14)? Kesadaran tentang faktor-faktor eksternal (ayat 13a) dan internal (ayat 13b) apakah yang mendorongnya berdoa seperti ini? Apakah hasratnya kepada Tuhan menjadi luntur dalam situasi seperti ini (ayat 14b)?

3. Apakah yang menjadi harapan Daud bagi musuh-musuhnya (ayat 15) dan orang-orang yang mencari Tuhan dan mencintai keselamatan daripada-Nya (ayat 17)? Apakah dasar bagi harapan-harapannya?

4. Apakah dampak dari pertolongan Allah yang pernah dialaminya (ayat 2-11) terhadap pergumulan yang sedang dihadapinya (ayat 12- 14)? Bagaimana hal itu juga berpengaruh terhadap harapannya untuk masa yang akan datang (ayat 15-17)?

5. Bagaimana dengan kita? Bagaimanakah kita dapat menemukan keyakinan pada masa kesesakan dan harapan untuk masa yang akan datang? Apakah dasar bagi keyakinan kita akan pertolongan Tuhan?

6. Di tengah-tengah pergumulan kita sehari-hari, apakah kita memiliki keyakinan bahwa Tuhan akan menunjukkan kasih setia-Nya untuk masa kini dan masa yang akan datang, sama seperti pada masa yang lampau? Hal-hal apakah yang menghambat proses ini?

(0.12366116216216) (Mzm 43:1) (sh: Pengharapan akan keadilan Allah (Sabtu, 7 Februari 2004))
Pengharapan akan keadilan Allah

Pengharapan akan keadilan Allah. Ada saatnya bagi kita untuk menerima semua tekanan dari lingkungan yang tidak seiman dengan sepenuhnya bersandar kepada Allah yang akan menolong dan memberikan kekuatan. Ada pula saatnya bagi kita untuk mendobrak keluar dari tekanan itu dengan meminta Allah bertindak.

Mazmur 43 sebenarnya menyambung Mazmur 42. Pemazmur yang mulai berhasil mengatasi perasaan tertekannya sekarang meminta Allah bertindak demi keadilan-Nya. Ia adalah orang saleh yang mengalami penindasan dari orang-orang yang jahat, yaitu kaum tidak saleh, penipu, dan orang curang (ayat 1).

Tidak jelas apa yang pemazmur minta untuk Allah lakukan terhadap para musuhnya demi keadilan-Nya. Namun, pemazmur tahu apa yang ia dan bangsanya butuhkan. Pemazmur meminta agar Tuhan yang selama ini diyakininya sebagai tempat pengungsiannya bersegera menuntunnya kembali ke tempat di mana mereka boleh menikmati hadirat Allah (ayat 2,3).

Permintaan si pemazmur agar Tuhan bersegera melepaskan dia dari lingkungan orang-orang yang tidak percaya Tuhan sebenarnya mewakili kerinduan umat Israel untuk lepas dari penjajahan Babel dan kembali ke tanah mereka sendiri. Bagi mereka tempat ibadah yang sejati hanyalah di Yerusalem, kota kudus Allah, dan secara lebih spesifik lagi Bait Allah yang berdiri di Gunung Sion (ayat 3). Selama mereka masih dibuang di Babel, mereka tidak dapat dengan bebas beribadah kepada-Nya. Selama itu pula mereka tidak dapat menikmati Allah maupun Allah menikmati korban-korban persembahan dan puji-pujian mereka (ayat 4).

Sekali lagi pemazmur menasihati jiwanya agar menaruh harapan pada Allah saja.

Renungkan: Katakan pada jiwa Anda: “Allah akan menolong saya.” Lalu, bersyukurlah kepada-Nya.

(0.12366116216216) (Mzm 49:1) (sh: Antara harta dan martabat (Minggu, 19 Agustus 2001))
Antara harta dan martabat

Antara harta dan martabat. Kebenaran tentang martabat manusia yang dipaparkan oleh pemazmur (ayat 21) akan dicemooh oleh masyarakat umum sebab mereka sangat mengagungkan harta. Semakin banyak harta, semakin terhormat orang tersebut. Konsep ini sudah ditanamkan ke dalam pikiran manusia sejak kecil.

Bagaimana seharusnya penilaian Kristen terhadap harta? Pemazmur tidak mengajarkan Kristen untuk anti harta. Ia juga tidak mengajarkan bahwa harta membuat martabat manusia serendah binatang. Pemazmur dengan tegas menyatakan bahwa jika manusia hanya mempunyai harta namun tidak mempunyai pengertian, martabatnya akan serendah binatang. Apakah ini berarti bahwa pengertianlah yang membuat martabat manusia tinggi? Ya! Lalu apa yang dimaksud dengan pengertian? Apakah kepandaian akademis? Tidak! Setiap manusia tidak dapat melawan satu fase dalam kehidupannya yaitu kematian. Berapa pun harta yang dimiliki, fase ini tidak dapat dihindari ataupun ditunda ketika saatnya tiba (ayat 8-11). Ditinjau dari fase ini manusia memang tidak berbeda dengan binatang seolah-olah kematian adalah tujuan akhir hidupnya (ayat 12-15). Lalu apa yang membedakan manusia dengan binatang? Tidak lain tidak bukan adalah hubungan dengan Allah yang dimilikinya (ayat 16). Hubungan ini yang membuat kematian bukan akhir dari kehidupannya (ayat 16). Inilah pengertian itu yaitu manusia yang melepaskan Allah dan mengikatkan diri kepada harta bukanlah manusia. Karena itulah Kristen tidak seharusnya menaruh hormat berlebihan kepada orang kaya (ayat 16-20).

Renungkan: Kebenaran ini sangat penting dan bersifat universal karena itu harus dipahami dan diajarkan secara serius (ayat 2-5). Sedini mungkin kebenaran ini diajarkan maka semakin cepat martabat manusia dipulihkan. Mulailah dari sekarang untuk menghormati manusia bukan berdasarkan kekayaan ataupun kedudukannya.

Bacaan untuk Minggu Ke-11 sesudah Pentakosta

Keluaran 16:2-4, 12-15

Efesus 4:17-24

Yohanes 6:24-35

Mazmur 78:14-20, 23-29

Lagu: Kidung Jemaat 365a

PA 7 Mazmur 44

Mazmur ini merupakan suatu doa permohonan bangsa Israel di saat mereka mengalami kekalahan perang. Di tengah keadaan letih dan tertekan, mereka mencoba mengingat-ingat kebaikan Tuhan pada masa lampau, namun hal itu justru membuat mereka tidak mengerti dan bertanya-tanya.

Pertanyaan-pertanyaan pengarah:

1. Bagaimana mereka menggambarkan keadaan nenek moyang mereka (ayat 2-9)? Bagaimana mereka menggambarkan tindakan Allah pada masa lampau terhadap nenek moyang mereka (ayat 2-4)? Apakah yang menjadi faktor kemenangan nenek moyang mereka (ayat 5)? Berdasarkan apakah keyakinan mereka dibangun (ayat 6)? Berdasarkan kemenangan ini, apakah yang mereka deklarasikan? Bagaimanakah mereka mendeklarasikannya (ayat 8-9)?

2. Bagaimana keadaan mereka sekarang (ayat 10-23)? Bagaimanakah mereka menggambarkan tindakan Allah terhadap mereka (ayat 10-15)? Berdasarkan kekalahan mereka, apakah yang mereka deklarasikan? Bagaimana mereka mendeklarasikannya (ayat 16-17)? Bagaimana mereka mengajukan keberatan kepada Allah? Alasan-alasan apa yang mereka gunakan (ayat 18-23)?

3. Pertanyaan-pertanyaan apakah yang mereka ajukan kepada Allah sebagai penutup dari ratapannya ini (ayat 24-26)? Apakah Kristen memiliki kebebasan untuk mempertanyakan keraguannya kepada Allah?

4. Adakalanya Tuhan seakan-akan tertidur dan membiarkan diri kita berada dalam kesulitan (bdk Mark 4:35-41), apakah Ia benar-benar tertidur dan tidak peduli? Jika tidak, apakah yang ingin dikerjakan-Nya bagi kita melalui proses seperti ini?

5. Apa yang mereka lakukan ketika menyadari karya Allah pada masa lampau dan krisis yang mereka hadapi sekarang? Apa yang menjadi dasar dari harapan mereka (ayat 27)? Ketika ingatan terhadap apa yang telah Allah perbuat pada masa lampau tidak cukup memberikan jawaban, atas dasar apakah kita menggantungkan harapan kita? Apakah Allah tetap adalah Allah yang dapat dipercayai ketika kita tidak menemukan jawaban atas persoalan yang kita hadapi?

(0.12366116216216) (Mzm 49:1) (sh: Kebahagiaan yang sia-sia (Jumat, 13 Februari 2004))
Kebahagiaan yang sia-sia

Kebahagiaan yang sia-sia. Seringkali kita sebagai orang Kristen merasa rendah diri di hadapan orang yang kaya, atau yang memiliki kuasa, sehingga kita tidak berani memberitakan Injil kepada orang-orang sedemikian. Padahal kita sama-sama manusia ciptaan Allah, yang tidak memiliki apa-apapun yang dapat dibanggakan di hadapan Allah. Lebih lagi kita sebagai anak-anak Tuhan, dengan tetap rendah hati dapat mengatakan bahwa kita memiliki kebahagiaan sejati. Jangan lupa, orang-orang kaya dan atau berkuasa kalau tidak memiliki Kristus di dalam hati, belum tentu bahagia. Kebahagiaan mereka kalaupun ada tidak hakiki.

Pemazmur di dalam hikmat Tuhan mengajak kita merenungkan kembali kebenaran ini: kekayaan, hikmat dan kuasa tidak dapat membeli kehidupan. Semua hal tersebut yang menjadi pegangan selama ini tidak dapat menolong mencegah kematian datang (ayat 6-15).

Persoalannya adalah banyak orang tertipu oleh apa yang di tangannya. Mereka merasa yakin bahwa dengan apa yang mereka miliki, kekayaan, hikmat, ataupun kekuasaan dapat menyelamatkan dirinya, pemazmur mengajar di dalam “hikmat Ilahi” bahwa hanya Tuhan saja yang mampu membebaskan seseorang dari kebinasaan. Paling tidak itulah pengalaman si pemazmur (ayat 16).

Maka sekarang ia mengajak kita semua untuk tidak usah minder terhadap mereka yang membanggakan kekayaannya, atau hikmatnya, atau kekuasaannya (ayat 17). Kita memiliki sesuatu yang lebih daripada semua hal tersebut. Kita dimiliki Allah pemilik hidup. Maka dari itu, justru kita harus berani untuk berkata-kata, menegur dalam kasih orang-orang yang terlalu percaya diri tersebut. Mereka akan binasa bila hanya mengandalkan apa yang mereka miliki. Mereka harus menjadi milik Allah. Tugas kita adalah memberitakan kebenaran itu.

Renungkan: Kapan terakhir kali Anda berkata kepada orang kaya, bahwa mereka membutuhkan Kristus untuk keselamatan mereka?

(0.12366116216216) (Mzm 50:1) (sh: Persembahan syukur (Jumat, 4 Juni 2004))
Persembahan syukur

Persembahan syukur. Tiap orang, tak terkecuali umat Tuhan, cenderung beranggapan bahwa Tuhan dapat dibuat berkenan dengan berbagai pemberian untuk-Nya. Ternyata tidak demikian! Dalam mazmur ini, seisi bumi (ayat 1-6), baik umat-Nya (ayat 7-15) maupun yang bukan (ayat 16-23) diperingatkan tentang kebenaran itu. Perkenan Tuhan tidak dapat dibeli dengan apa pun sebab segala sesuatu adalah milik-Nya dan Ia tidak memerlukan apa pun (ayat 9-13). Sebaliknya, Ia menganugerahkan perjanjian melalui korban sembelihan (ayat 4-5).

Karena itu, tidak ada korban lain yang Allah minta kecuali korban syukur (ayat 14). Hal ini lebih penting daripada korban binatang. Korban syukur adalah respons umat terhadap kebaikan Allah. Korban syukur itu harus diwujudkan melalui sikap hidup sehari-hari. Allah dengan keras mengecam kehidupan orang Israel secara khusus para hamba-Nya yang selalu giat menyelidiki firman-Nya dan berbicara tentang perjanjian-Nya tetapi membenci teguran dan mengesampingkan firman TUHAN (ayat 16-17). Bahkan lebih serius lagi mereka berkawan dengan pencuri dan orang berzinah artinya para rohaniwan itu sudah melebur dengan orang-orang yang melakukan perbuatan yang dibenci Allah (ayat 18-20). Itu sebabnya Allah menggolongkan mereka sama dengan orang kafir yang tidak mengenal Allah.

Firman ini menegaskan bahwa Allah menuntut umat-Nya untuk hidup serasi dengan kegiatan ibadah. Amat mudah orang berlaku munafik seperti yang ditegur Tuhan dalam mazmur ini. Berbagai kegiatan kerohanian boleh jadi tidak murni. Bisa saja hal-hal itu adalah untuk menipu hati nurani sendiri, atau menipu orang lain. Namun Allah tidak dapat ditipu. Allah akan menghukum orang yang meski beribadah namun tetap saja melanggar perintah-Nya dan hidup tidak beda dengan orang kafir (ayat 22-23).

Renungkan: Sikap dan tindakan kita tiap hari, entah adalah korban syukur bagi Allah atau objek kemarahan-Nya.

(0.12366116216216) (Mzm 56:1) (sh: Allah yang meluputkan! (Kamis, 10 Juni 2004))
Allah yang meluputkan!

Allah yang meluputkan! Dalam Mazmur 55 kita mendapat kesan bahwa Daud berada dalam kondisi yang sangat tertekan. Namun dalam mazmur ini kesan itu telah berubah dengan suatu sikap yang lebih percaya dan lebih yakin akan pertolongan Allah. Perhatikanlah beberapa kali Daud mengungkapkan keyakinan sekaligus kepercayaannya kepada Allah. Misalnya, "Aku ini percaya kepada-Mu"(ayat 4), "Firman-Nya kupuji" (ayat 5,11), "Kepada Allah aku percaya" (ayat 5,12), "Apakah yang dapat dilakukan manusia terhadap aku" (ayat 6b, 12b). Ungkapan-ungkapan ini menunjukkan bahwa ia telah menang atas persoalan yang dihadapinya.

Judul di ayat 1 menyebutkan bahwa mazmur ini adalah suatu refleksi atas pengalaman Daud ketika ia ditangkap oleh orang Filistin (lihat 1 Samuel 21:10-15). Waktu itu Daud berada dalam posisi terjepit. Karena setelah lepas dari kejaran Saul, ia ditangkap oleh pegawai-pegawai Akhis, raja kota Gat, musuh orang Israel. Ibarat ungkapan: lepas dari mulut singa masuk ke dalam mulut harimau. Situasi yang gawat seperti itu tidak membuat Daud kehilangan percayanya kepada Allah (ayat 12). Pada akhirnya toh ia terlepas dari tangan musuh-musuhnya. Walaupun kelepasannya disertai dengan berpura-pura gila (ayat 1 Samuel 21:13-15), namun ia berkeyakinan bahwa Allahlah yang melepaskannya (ayat 14). Tanpa campur tangan Allah, Daud yakin bahwa Akhis tidak akan begitu mudah menolak laporan para pegawainya.

Sebagai respons Daud atas penyelamatan Allah atas dirinya, Daud pun melaksanakan nazarnya dan membayar dengan korban syukurnya kepada Allah (ayat 13). Kita tidak tahu apa nazar Daud itu, tetapi yang pasti hidup Daud seterusnya dijalaninya dengan setia mengikut Dia dan dengan sukacita melayani-Nya.

Renungkanlah: Saat-saat Anda sudah kepepet, terjepit, dan tanpa asa, percayalah Allah tidak meninggalkan Anda. Berserulah, dan lihatlah pertolongan-Nya datang!

(0.12366116216216) (Mzm 58:1) (sh: Masih adakah keadilan? (Sabtu, 12 Juni 2004))
Masih adakah keadilan?

Masih adakah keadilan? Bukan hanya di zaman ini, tetapi bahkan sejak zaman di mana pemazmur hidup, ketidakadilan telah merajalela. Para penguasa dan para hakim bertindak semena-mena. Melihat keadaan ini, pemazmur tidak tinggal diam. Mazmur 58 ini merupakan suatu seruan yang menuntut agar keadilan ditegakkan.

Sambil membandingkan situasi itu dengan situasi zaman Daud pemazmur mempertanyakan integritas para penguasa tersebut (ayat 1) dan menyingkapkan kejahatan mereka (ayat 2-6). Mereka adalah orang-orang yang menggunakan otoritas dan kekuasaannya untuk menindas dan melakukan kejahatan (ayat 3). Perhatikan prinsip penting pemazmur menghubungkan kejahatan mereka ini dengan hakikat mereka sejak dilahirkan dan bahkan sejak di dalam kandungan (ayat 4).

Kejahatan mereka semakin menegaskan keberadaan mereka yang fasik dan sesat di hadapan Tuhan. Mereka bahkan tidak menghiraukan peringatan-peringatan yang ditujukan kepada mereka (ayat 5). Karena itu, pemazmur memohon agar Allah menghukum mereka dengan menghancurkan kekuatan mereka (ayat 7) dan menghilangkan pengaruh mereka untuk seterusnya (ayat 8-10).

Akhirnya, hanya ketika Allah menyatakan keadilan-Nya terhadap para penguasa/hakim yang lalim inilah orang benar dapat bersukacita (ayat 10-11). Memang terkadang Allah sepertinya berdiam diri ketika ketidakadilan terjadi. Tetapi hal itu tidak menjadikan pemazmur kehilangan pengharapannya. Ia percaya bahwa suatu saat Allah akan memberi pahala bagi orang benar yang setia berharap kepada Dia, dan Ia pasti menghakimi mereka yang tidak adil (ayat 10), karena Dialah satu-satunya Hakim yang ADIL, Sumber segala keadilan.

Renungkan: Ketika kita diperlakukan secara tidak adil, adakah kita berusaha menghakimi dengan cara kita sendiri ataukah kita rela mempercayakan diri kita kepada Tuhan, Hakim yang Adil, dan menantikan Dia dengan setia?

(0.12366116216216) (Mzm 60:1) (sh: Dua pelajaran (Senin, 14 Juni 2004))
Dua pelajaran

Dua pelajaran. Sering terdengar lagu "We are the champion" dalam merayakan kemenangan, tetapi kita tidak pernah mendengar perayaan kekalahan apalagi diiringi oleh sebuah lagu. Kekalahan tidak pernah disukai orang. Namun kenyataannya hidup ini tidak selalu berkemenangan. Jadi, apakah makna di balik kekalahan dan kemenangan yang dirasakan oleh seseorang?

Mazmur ini mengajak kita untuk melihat kekalahan dan kemenangan dari sudut pandang Daud sebagai raja Israel. Pertama, teriakan Daud supaya Allah memulihkan mereka, karena pertahanan mereka tertembus (ayat 1-7) memberikan pengertian kepada kita bahwa Daud pernah merasakan apa yang disebut kekalahan. Daud melihat kekalahan sebagai penghukuman dari Tuhan. Namun Daud tidak mengeluh kepada Tuhan, apalagi menyalahkan Tuhan karena kekalahan yang dialaminya. Ia melihat bahwa ada pengajaran Allah yang harus dipelajari oleh Israel dan dirinya dalam kekalahan tersebut.

Kedua, berdasarkan janji Allah akan kemenangan (ayat 8-10) Daud merasakan kemenangan yang berasal dari Tuhan. Ia sadar bahwa kemenangannya bukan atas dasar kekuatan dan taktik berperangnya, tapi semata-mata karena bersama Allah ia melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa terhadap musuhnya (ayat 13-14) dan inilah sumber kemenangan Daud.

Dua pelajaran yang Daud ungkapkan bahwa kemenangan dan kekalahan semuanya datang dari Tuhan. Daud memberi teladan bagaimana sikapnya menerima kekalahan dan kemenangan dalam peperangan.

Kalau Allah mengijinkan kita menderita kekalahan, itu artinya ada hal yang harus kita pelajari. Kalau Allah memberi kita kemenangan, biarlah segala syukur kita kembalikan kepada Dia. Seperti Daud, kalah atau menang, biarlah Allah tetap dimuliakan.

Renungkan: Kita semua akan mengalami kekalahan dan kemenangan. Jadikan Daud teladan dalam menyikapi hal tersebut.

(0.12366116216216) (Mzm 61:1) (sh: Memuji Tuhan, mengapa tidak? (Selasa, 15 Juni 2004))
Memuji Tuhan, mengapa tidak?

Memuji Tuhan, mengapa tidak? Raja berhak dan harus dilindungi oleh prajuritnya. Ketika prajurit Daud tidak mampu lagi untuk melindungi dirinya sebagai raja, Daud melarikan diri, menjauh dari musuhnya guna menyelamatkan dirinya.

Pelarian Daud membawanya kepada tempat yang asing. Dia terpisah dari kerabatnya dan keamanan yang selama ini ada di sekelilingnya. Apa yang diperbuat oleh Daud? Pertama, Daud berteriak sebagai ungkapan dari lubuk hatinya bahwa ia memerlukan pertolongan dari Allah. Dia percaya bahwa dari ujung bumi sekalipun, Allah dapat menolongnya, karena Allah tidak dibatasi oleh letak geografis (ayat 2-3). Di manapun dia berada, Allah sanggup menolongnya. Kedua, Daud bersukacita karena Allah telah mendengarkan doanya. Allah memberikan cahaya terang di tengah-tengah kegelapan yang mengelilinginya. Allah membuktikan bahwa Ia adalah tempat perlindungan yang paling aman dari musuh-musuh orang yang takut akan Dia (ayat 4-8). Harapan Daud kepada Allah untuk mendapat suatu perlindungan tidak bertepuk sebelah tangan. Ketiga, akhirnya melalui peristiwa ini, Daud berjanji untuk memuji Allah setiap hari, dalam waktu senang ataupun susah. Ketakutan Daud akhirnya berubah menjadi puji-pujian yang memuliakan Tuhan seumur hidupnya.

Dalam kehidupan ini, ketakutan dan kecemasan sering hadir dan membuat kita salah merespons kepada Allah. Pengalaman Daud mengajar kita untuk merespons benar terhadap Allah sehingga akhirnya dari segala situasi hidup kita bisa menghasilkan puji-pujian yang menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak pernah mengecewakan orang yang takut akan Dia dan semuanya itu untuk menguji iman kita kepada-Nya.

Renungkanlah: Hadapilah segala pergumulan bersama Tuhan, sehingga akhirnya kita boleh menjadikan hidup penuh dengan pujian kepada Tuhan dalam setiap waktu.

(0.12366116216216) (Mzm 64:1) (sh: Jangan remehkan intimidasi kata-kata (Jumat, 18 Juni 2004))
Jangan remehkan intimidasi kata-kata

Jangan remehkan intimidasi kata-kata. Pergumulan iman terberat seringkali kita kaitkan dengan masalah-masalah seperti kelemahan fisik, kesulitan dalam pekerjaan, pencobaan moral atau ancaman fisik. Dalam kenyataan sehari-hari, kita menemui bahwa kata-kata seperti ejekan, fitnahan, serangan terhadap isi iman Kristen, dlsb. dapat mengolok iman kita. Tentang pergumulan iman menghadapi serangan kata-kata inilah, pemazmur bicara.

Pemazmur mengalami pergumulan yang berat itu. Ia tahu bahwa musuh yang berat itu bermaksud membinasakannya (ayat 3). Ia tahu bahkan cara-cara licik digunakan untuk menyerangnya pada saat-saat kelemahannya, yaitu berupa gosip, fitnah, dan cercaan (ayat 4-6). Lebih daripada itu, ia tahu mereka bersungguh hati untuk menghancurkan dia. (ayat 7, ayat ini bisa dibaca 'mereka merancang kecurangan-kecurangan: "Kami sudah siap, rancangan sudah rampung, rancangan yang keluar dari batin dan hati terdalam"'). Seorang penafsir mengatakan, betapa dalamnya isi hati seseorang, siapa yang tahu? Apalagi, bila hati yang jahat merencanakan kejahatan, siapa bisa menduga kekejaman dan kekejiannya?

Namun, pemazmur tidak termakan oleh dampak dahsyat kata-kata buruk dari orang jahat. Ia percaya kepada Allah yang berdaulat dan berkuasa atas mereka. Ia tahu kesudahan orang-orang jahat adalah kebinasaan mereka, dan mereka akan binasa oleh senjata mereka sendiri: lidah dusta mereka (ayat 8-9). Ia tahu juga orang benar, orang yang berlindung kepada-Nya akan diselamatkan, dan akan bersukacita (ayat 10-11). Pemazmur belajar bahwa lidah jahat akan termakan jeratnya sendiri. Karena itu, orang yang jujur dalam kata dan tindakan adalah orang yang bertindak sesuai sikap Allah sendiri dalam firman-Nya yang "ya dan amin."

Renungkan: Jangan anggap remeh pengaruh kata-kata baik dari orang yang kita jumpai sehari-hari maupun dari sumber-sumber media. Bangunlah "filter" iman untuk menilai dan menetapkan kata-kata mana yang harus dibuang dan kata mana yang patut disimpan.

(0.12366116216216) (Mzm 69:19) (sh: Sisi gelap cinta (Rabu, 17 Oktober 2001))
Sisi gelap cinta

Sisi gelap cinta. Mencintai sesuatu atau seseorang kadangkala merupakan tindakan barbar, karena dilakukan dengan mengorbankan pihak lain. Seorang anak bisa sangat membenci orang-orang yang mencoba menyakiti orang-tua yang dicintainya. Cinta harus memilih. Demikian pula halnya dengan cinta kita kepada Allah. Apakah ketika kita memilih Allah, pihak-pihak lain yang mencoba melawan Dia harus dikorbankan?

Pemazmur sadar bahwa ia bukan orang yang sempurna tanpa dosa (ayat 6). Meskipun demikian, ia tidak merelatifkan dosa dan toleransi terhadap orang-orang jahat. Maka kita dihadapkan kepada satu doa yang seakan-akan amat kejam. Pemazmur ingin agar kecelakaan menimpa musuh-musuh kebenaran dalam bentuk-bentuk terburuk yang dapat dibayangkan (ayat 23-29). Itu semua merupakan satu seruan di dalam keputusasaan dan penindasan (ayat 20-22, 30). Adakalanya Tuhan melindungi orang benar dengan cara mendatangkan celaka bagi orang fasik.

Yang ingin disampaikan oleh pemazmur di sini adalah suatu sikap hati yang menolak dengan tegas segala ketidakbenaran. Kelaliman harus dibasmi tuntas dan tidak boleh diberi kesempatan untuk bersemi kembali. Tentunya hal ini tidaklah bertentangan dengan ajaran kasih Yesus, yang menasihati agar kita mendoakan orang-orang yang menganiaya kita. Dengan demikian, mengatasnamakan Allah untuk 'menggolkan' kepentingan pribadi jelas bukan maksud pemazmur. Celakalah mereka yang mempermainkan Allah, agama, dan pelayanan demi maksud terselubung!

Doa pemazmur ditutup dengan puji-pujian kepada Allah yang menyelamatkan (ayat 30-37). Puji-pujian lebih dikenan Allah daripada persembahan yang hanya lahiriah sifatnya. Ini berarti pemazmur memuji bukan hanya dengan mulutnya, melainkan dengan seluruh hidupnya. Dengan iman, pengharapan, dan kasihnya kepada Allah, pemazmur memuliakan Dia, lalu mengajak semua ciptaan-Nya bersukacita.

Renungkan: Cinta kepada kebenaran menuntut penyingkiran musuh-musuh kebenaran sampai tuntas. Tetapkanlah hati untuk melawan segala ketidakbenaran. Mintalah agar Tuhan memurnikan dan membuat kita rendah hati, agar tidak menjadi orang-orang yang memanipulasi kebenaran demi ambisi kita. Kemudian, bersyukurlah kepada Allah!

(0.12366116216216) (Mzm 73:1) (sh: Grafik Kehidupan (Minggu, 3 Juli 2016))
Grafik Kehidupan

Seperti apakah grafik perjalanan kehidupan kita selama ini?

Mazmur 73 ini memaparkan satu grafik kehidupan yang sangat dinamis. Ada 3 titik simpul kecil di sepanjang mazmur ini, yang ditandai dengan kata "sesungguhnya". Titik simpul ke-1 (2-12) adalah puncak pergumulan pemazmur (12). Kata Ibrani yang dipakai "hinneh" (behold) artinya "lihatlah, sesungguhnya". Hidup orang fasik penuh kemujuran, sedangkan aku yang berusaha hidup tulus dan bersih hati justru kena tulah sepanjang hari. Pemazmur merasa cemburu dan sakit hati melihat kehidupan para pembual dan orang fasik yang nyaman, sehat, mapan sehingga dapat menyombongkan diri, bahkan melawan TUHAN. Simpul ke-2 (13-15) kata"hinneh" (sesungguhnya 15b) kembali muncul diawali dengan kata sia-sia (13). Perhatikan, grafik kehidupan pemazmur pada simpul ke-2 ini mencapai titik nadir, ia amat menderita dalam pergumulan batin ini.

Pada simpul ke-3 (16-20) pemazmur mengalami pencerahan ketika ia masuk dalam hadirat Tuhan. Terjadi perubahan kata "sesungguhnya" yang digunakan bukan lagi "hinneh" tetapi "ak", surely yang berarti "pasti, tentu, sesungguhnya". Inilah titik balik iman pemazmur. Ia sampai pada satu pengertian bahwa cara pandang Allah terhadap kekinian hidup didasarkan pada perspektif kekekalan. Ia menyadari bahwa Allah tidak membiarkan orang fasik dan para pembual bersenang-senang dalam kejahatannya. Akhirnya, Allah menjatuhkan hukuman dan membinasakan mereka dalam sekejap. Itu sebabnya pemazmur memproklamasi imannya secara gamblang: "sesungguhnya ALLAH itu baik bagi mereka yang tulus dan bersih hati (1)".

Sekalipun situasi hidup kita tidak seperti yang kita harapkan, kita berduka dan kecewa melihat keberhasilan orang-orang yang hidup dalam kejahatan, percayalah bahwa Allah tidak tinggal diam. Lihatlah kebaikan dan keadilan TUHAN dalam perspektif kekekalan. DIA tetap baik bagi kita! [SC]

(0.12366116216216) (Mzm 78:1) (sh: Mendengar dan meneruskan yang didengar (Jumat, 26 Oktober 2001))
Mendengar dan meneruskan yang didengar

Mendengar dan meneruskan yang didengar. Setiap hari terdapat begitu banyak hal yang dapat kita dengar ataupun ucapkan, yang akan mewarnai hidup kita. Semuanya itu merupakan pilihan bagi kita untuk menentukan dengan apakah kita akan mewarnai hidup kita.

Mazmur ini merupakan catatan yang luar biasa dari generasi ke generasi, yang mengarahkan telinga dan mulut Israel kepada ajaran- ajaran Tuhan. Dalam mazmur ini Israel diingatkan untuk mempertahankan Taurat Tuhan, tidak melupakan perbuatan-Nya, dan tidak memberontak terhadap-Nya. Mereka diperingatkan untuk tidak mengulangi perbuatan nenek moyang mereka yang telah memberontak dan mengeraskan hati di padang gurun, sehingga Allah membinasakan mereka.

Asaf memanggil Israel untuk mendengar pengajarannya (ayat 1, 4) dan terus mengajarkannya kepada generasi yang akan datang (ayat 5, 6). Hal ini direncanakan Tuhan agar Israel dapat mempercayai Dia dan mematuhi perintah-perintah yang diberikan-Nya (ayat 7), sehingga Israel tidak jatuh ke dalam ketidakpercayaan dan pemberontakan seperti nenek moyang mereka (ayat 8). Pemberontakan seperti ini telah mewarnai sejarah perjalanan Israel bersama dengan Allah, sejak mereka berada di padang gurun. Contoh ketidaktaatan ini nyata dalam kehidupan kerajaan utara yang mengabaikan perjanjian mereka dengan Tuhan (ayat 10) dan melupakan karya penyelamatan-Nya (ayat 11).

Melalui mazmur ini kita dapat melihat bahwa kegagalan sejarah Israel yang diwarnai dengan pemberontakan nenek moyang mereka disebabkan karena: [1] mereka gagal untuk setia mendengar ajaran yang telah diwariskan oleh generasi sebelumnya, dan [2] mereka mengabaikan sejarah karya Allah yang dahsyat dalam perjalanan hidup mereka. Ikatan perjanjian Allah dengan umat-Nya penting dihayati oleh semua umat turun-temurun, dari generasi ke generasi.

Renungkan: Kristen perlu menyadari dari hari ke hari bagaimana karya Allah dalam sejarah hidup kekristenan, sehingga tidak mengulangi kegagalan yang sama atau tetap bebal walau telah mengalami perbuatan-perbuatan Allah yang ajaib. Dan jangan lupa, kita perlu meneruskannya kepada generasi-generasi berikut, agar mereka belajar mengenal Allah dan setia kepada-Nya.

(0.12366116216216) (Mzm 78:56) (sh: Masalah rohani. (Minggu, 16 Agustus 1998))
Masalah rohani.

Masalah rohani.
Kelakuan Israel bisa membuat kita menyimpulkan bahwa mereka hanya melakukan beberapa kekeliruan sosial. Tetapi "kekeliruan" itu berulang kali mereka lakukan kendati Tuhan senantiasa baik terhadap mereka. Dari kisah Israel menjelang pembuangan kita tahu bahwa masalah mereka adalah kerusakan rohani yang amat serius. Mereka bahkan sampai menyimpang dari ibadah mereka kepada Yahwe satu-satunya Allah sejati yang telah membawa mereka keluar dari Mesir dan memelihara mereka dengan panjang sabar. Mereka tidak segan berpaling kepada dewa-dewa asing, lalu membuat berhala-berhala mereka sendiri.

Sejak kejatuhan Adam, seluruh kejahatan manusia yang mengundang tindakan penghukuman Allah bernafaskan hal sama. Manusia melawan Allah, memilih berbakti kepada ilah lain. Bukankah banyak kekacauan kita alami sekarang sebab orang tidak sungguh takut kepada Tuhan? Para pemimpin kita memikirkan kepentingan mereka. Banyak orang hanya takut terjadi kebangkrutan, takut kekacauan, tetapi tidak takut akan Tuhan.

Pribadi Ilahi. Masyarakat luas, kelompok organisasi, umat beragama, semuanya memerlukan pepimpin yang handal. Untuk problem hakiki manusia: dosa, hanya Pribadi Ilahi yaitu Yesus Kristus yang dapat memimpin manusia keluar dari belenggu kegelapan dosa masuk ke dalam kemerdekaan Kerajaan Terang Allah. Untuk Yehuda, Allah memilih Daud. Ia diberi hikmat dan keberanian. Ia diberikan potensi kepemimpinan agar mampu menjadi raja yang handal yang sekaligus dapat diteladani.

Daud hanyalah bayang-bayang dari kepemimpinan sempurna Yesus Kristus. Pemimpin yang baik tidak cukup memiliki ilmu dan keahlian, ia harus merupakan seorang pilihan Allah yang diperlengkapi Allah sendiri baik dengan integritas, kewibawaan, maupun kemampuan.

Doa: Tuhan Yesus, Pemimpin satu-satunya yang sempurna kudus di hadapan Allah, bertindaklah dan berperkaralah atas bangsa kami dan para pemimpin kami.

(0.12366116216216) (Mzm 78:56) (sh: Tuhan siap merombak dan membangun ulang (Minggu, 28 Oktober 2001))
Tuhan siap merombak dan membangun ulang

Tuhan siap merombak dan membangun ulang. Tujuan perjalanan panjang bangsa Israel dari Mesir ke Kanaan adalah untuk membentuk suatu bangsa milik Allah sendiri. Namun perjalanan ini diwarnai berbagai pemberontakan yang berorientasi pada "keinginan perut" bangsa Israel, sehingga mereka harus berputar di padang gurun selama 40 tahun.

Betapa menyedihkannya keadaan bangsa pilihan Allah ini, karena mereka tidak pernah belajar melakukan apa dikehendaki Allah, justru berulangkali mereka hidup dalam kesenangannya sendiri. Kedegilan hati mereka membuat kasih Allah tidak terselami, walau sudah dinyatakan berulang kali. Hal ini menggerakkan Allah untuk melakukan penghukuman-Nya (ayat 66-67), tetapi tidak membuat-Nya putus asa terhadap keadaan umat-Nya. Allah membangun kembali dari awal apa yang telah dirobohkan oleh kesalahan manusia (ayat 69). Di balik penghukuman-Nya yang bertujuan memurnikan umat-Nya, Ia menyelamatkan sekumpulan kecil orang yang setia kepada-Nya, yang akan menjadi tunas bagi pembangunan yang baru. Dia memilih Yudea, Gunung Sion, dan mengangkat Daud menjadi gembala bagi umat-Nya (ayat 70-72).

Karena Allah adalah setia dan senantiasa bersedia merombak kembali, maka pemberontakan umat-Nya tidak akan menggagalkan rencana yang telah disediakan-Nya bagi umat-Nya. Kesediaan Allah untuk merombak dan membangun ulang apa yang sudah rusak, melebihi daya perusak dari manusia yang lemah.

Renungkan: Kasih setia Tuhan mampu membangun kembali apa yang telah dirobohkan manusia. Namun bukan berarti Tuhan membiarkan manusia seenaknya merusak dan menghancurkan. Rindukah Anda menjadi alat Tuhan memurnikan umat-Nya?

Bacaan untuk Minggu ke-21 sesudah Pentakosta

Yesaya 53:10-12

Ibrani 5:1-10

Markus 10:35-45

Mazmur 91:9-16

Lagu: Kidung Jemaat 423

PA 8 Mazmur 74

Mazmur ini merupakan nyanyian ratapan atas hancurnya Bait Allah di Yerusalem oleh bangsa Babilon pada tahun 587 sM. Mereka menulis mazmur ini dalam pembuangan ketika identitasnya sebagai suatu bangsa telah dihapuskan, tanah perjanjian yang dimilikinya telah dirusak, dan Bait Allah yang menjadi pusat ibadah mereka telah dihancurkan. Mereka berada dalam suatu kondisi yang sedemikian tertekan dan tidak dapat mengerti mengapa Tuhan yang sedemikian berkuasa tidak menyelamatkan mereka dari tangan para musuh mereka.

Pertanyaan-pertanyaan pengarah:

1. Bagaimanakah kehancuran Bait Allah digambarkan (ayat 3-9)? Bagaimana keadaannya? Apa yang dilakukan oleh para lawan mereka? Krisis apakah yang dialami bangsa Israel?

2. Empat pertanyaan apakah yang mereka ajukan kepada Tuhan (ayat 1, 10, 11)? Bagaimana mereka memahami identitas diri mereka? Bagaimanakah mereka melihat sikap Tuhan terhadap mereka? Pernahkah Anda melihat Tuhan seperti mereka melihat-Nya? Pada saat dan peristiwa apakah hal itu terjadi?

3. Apakah mereka terus tenggelam dalam kesedihan mereka? Peristiwa- peristiwa apakah yang mereka renungkan pada saat mereka sangat tertekan (ayat 12-15; 16-17)?

4. Mengapa mereka dapat teringat kepada peristiwa-peristiwa pada masa lampau yang diceritakan kepada mereka, ketika mereka berada dalam keadaan yang sangat sulit? Apa dampak dari firman yang mereka ingat bagi masa-masa yang sukar? Bagaimana firman Tuhan yang pernah Anda dengar berdampak bagi kehidupan Anda, khususnya pada saat Anda mengalami krisis?

5. Perhatikan empat permohonan mereka yang dimulai dengan kata "janganlah" (ayat 19, 21, 23), "ingatlah" (ayat 2, 18, 22), dan juga permohonan mereka yang dimulai dengan kata "pandanglah" (ayat 20), "biarlah" (ayat 21), dan "bangunlah" (ayat 22). Apakah yang menjadi landasan bagi keyakinan mereka kepada Tuhan? Bagaimana Anda mengaplikasikan pelajaran pada hari ini bagi kehidupan Anda secara pribadi dan pergumulan bangsa kita?

(0.12366116216216) (Mzm 82:1) (sh: Lupa diri (Kamis, 1 November 2001))
Lupa diri

Lupa diri. "Power is knowledge", demikian ujar Foucault. Artinya, yang berkuasalah yang menentukan benar atau tidaknya sesuatu. Sayang sekali karena tidak semua penguasa mampu menjalankan tugas mereka dengan semestinya. Kepentingan pribadi atau golongan seringkali membuat mereka lupa diri, sehingga yang benar jadi salah dan yang salah jadi benar.

Mazmur 82 berbicara mengenai para hakim yang lupa diri. Ketika mazmur ini ditulis, para hakim tidak hanya menjalankan tugas yudikatif (hukum), tapi juga eksekutif (pemerintahan) dan legislatif (pembuat undang-undang). Mereka harus memerintah dengan adil dan menghukum kejahatan (Ul. 25:1). Namun, pada kenyataannya, ada hakim yang justru memutarbalikkan kebenaran dan membela kelaliman (ayat 2). Bagaimana mungkin mereka dapat membela kaum tertindas dan lemah (ayat 3-4) jika mereka tidak mengenal hikmat Allah dan tidak berjalan dalam kesucian (ayat 5)?

Itulah sebabnya kita melihat Allah berdiri di hadapan para "allah" untuk menghakimi mereka. Istilah "allah" dengan huruf kecil bukan merupakan suatu pujian untuk status para hakim yang seakan-akan menjadi wakil Allah, namun merupakan sindiran yang keras. Mereka adalah orang-orang yang mengangkat diri menjadi allah-allah palsu. Kepada orang-orang yang congkak dan lupa diri inilah, Allah akan menumpahkan gemas-Nya (ayat 7). Di dalam "kebesaran", mereka akan dihempaskan, karena wewenang telah disalahgunakan.

Mazmur ini ditutup dengan suatu permohonan pada Allah agar Ia segera mengulurkan tangan-Nya, membela kaum papa, dan menghajar para pemimpin yang sewenang-wenang. Ini adalah suatu pernyataan iman bahwa Allah tidak pernah menutup mata terhadap segala kejahatan dan penyimpangan. Ia adalah Hakim yang adil.

Renungkan: Jika Anda adalah seorang pemimpin, baik dalam keluarga, pekerjaan, pemerintahan, maupun di mana saja, pastikan bahwa Anda senantiasa bersikap benar di hadapan Allah dan sesama. Doakan pula agar para pemimpin bangsa kita memakai kekuasaan di dalam takut akan Allah, Sang Hakim yang adil.

(0.12366116216216) (Mzm 83:1) (sh: Menyongsong kemenangan (Senin, 26 September 2005))
Menyongsong kemenangan

Menyongsong kemenangan Berbicara tentang kemenangan dalam kondisi sulit, rasanya tidak realistis. Hal yang tidak realistis inilah yang mendominasi doa Asaf ini. Umat Israel sedang terancam persekongkolan jahat bangsa-bangsa yang memusuhi mereka (ayat 8-9). Dalam situasi buruk ini, Perjanjian Allah dan doa yang mengantisipasi kemenangan menjadi dasar umat Israel bersikap sehingga mereka mampu menghadapi persekongkolan jahat itu.

Umat Israel menyadari arti perjanjian Allah bagi mereka dan implikasinya terhadap kesulitan yang mereka alami. Dengan mengadakan perjanjian, Allah menempatkan diri-Nya di pihak umat-Nya. Ia menjadi penyelamat, pemilik, dan pelindung umat-Nya, maka para musuh umat Israel akan menjadi musuh Allah sendiri. Atas dasar ini, pemazmur berseru agar Tuhan membuyarkan kekuatan dari persekongkolan jahat itu (ayat 14-16). Hasilnya, doa permohonan berubah menjadi doa menyongsong kemenangan. Asaf mengingat akan perbuatan-Nya di masa lalu saat para hakim satu per satu mematahkan kejahatan bangsa-bangsa zaman mereka (ayat 10-13).

Berdoa berdasarkan perjanjian ilahi harus menjadi disiplin rohani kita. Realitas hidup tidak selalu ramah. Kesepakatan jahat dari orang-orang yang berprinsip hidup berbeda dengan kita dapat menekan kita. Hadapilah perilaku dari orang tak beriman itu dengan fakta Perjanjian Allah bagi kita. Kita adalah umat perjanjian karena nyawa Kristus dan meterai Roh Allah. Namun, kita hanya dapat menghayati kekuatan yang datang dari fakta perjanjian Allah itu, jika kita sendiri aktif menautkan diri kita kepada-Nya. Kesadaran tinggi bahwa kita adalah milik-Nya membuat kita memiliki keyakinan teguh bahwa apa pun yang kita alami justru akan membuat pihak lawan mengakui kemuliaan Allah (ayat 17-19).

Responsku: ---------------------------------------------------------------- ----------------------------------------------------------------



TIP #17: Gunakan Pencarian Universal untuk mencari pasal, ayat, referensi, kata atau nomor strong. [SEMUA]
dibuat dalam 0.05 detik
dipersembahkan oleh YLSA