Kitab Ayub adalah salah satu kitab dalam Alkitab yang termasuk dalam kategori kitab hikmat. Kitab ini mengisahkan tentang penderitaan yang dialami oleh seorang pria bernama Ayub dan pencariannya untuk memahami keadilan Allah.
Dalam konteks historis, Kitab Ayub diyakini ditulis pada periode setelah kehancuran Bait Suci pertama di Yerusalem pada tahun 586 SM. Namun, kisah yang terdapat dalam kitab ini diyakini terjadi pada masa sebelumnya, mungkin pada zaman patriarkal atau zaman keemasan Israel.
Dalam konteks budaya, Ayub adalah seorang pria yang hidup di tanah Uts, yang terletak di sebelah timur sungai Yordan. Budaya dan tradisi di daerah ini mempengaruhi pemahaman dan tindakan Ayub dalam menghadapi penderitaannya.
Dalam konteks literatur, Kitab Ayub terdiri dari dialog-dialog antara Ayub dan tiga temannya, yaitu Elifas, Bildad, dan Zofar. Mereka mencoba memberikan penjelasan teologis tentang penderitaan Ayub, tetapi Ayub tetap bertahan pada keyakinannya bahwa dia tidak bersalah dan bahwa penderitaannya tidak adil.
Dalam konteks teologis, Kitab Ayub mengangkat pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan Allah dan penderitaan manusia. Ayub mencoba mencari jawaban atas pertanyaan mengapa orang yang benar menderita dan mengapa orang jahat tampaknya tidak dihukum. Kitab ini juga menyoroti pentingnya iman dan kepercayaan kepada Allah dalam menghadapi penderitaan.
Dalam pasal
3 Kitab Ayub, Ayub mulai mengeluh dan mengutuk hari kelahirannya. Ayub merasa sangat putus asa dan ingin mati karena penderitaannya yang luar biasa. Ayub merenungkan kehidupan yang sia-sia dan mengeluhkan mengapa dia harus mengalami penderitaan yang begitu besar.
Sebelumnya, dalam pasal-pasal sebelumnya, Ayub telah kehilangan harta benda, keluarganya, dan kesehatannya. Dia telah mengalami penderitaan fisik dan emosional yang luar biasa. Teman-temannya datang untuk menghiburnya, tetapi Ayub tetap dalam kesedihan dan keputusasaan.
Dengan demikian, pasal
3 Kitab Ayub menggambarkan keadaan emosional Ayub yang sangat terpuruk dan putus asa. Ayub merenungkan penderitaannya dan mengutuk hari kelahirannya. Hal ini menjadi awal dari dialog-dialog yang terjadi antara Ayub dan teman-temannya dalam upaya mereka untuk mencari pemahaman tentang penderitaan dan keadilan Allah.