HAKIM-HAKIM
PENDAHULUAN
Kitab “Hakim2” mendapat namanja dari tokoh2 jang memainkan peranan utama dalam
kisah jang dikumpulkan dalam kitab ini.sedjak dulu kala kata Hibrani jang
menjatakan nama mereka itu, diterdjemahkan dengan kata ”hakim2”; tetapi sebutan
ini tidak seluruhnja sesuai dengan fungsi jang mereka djalankan. Selain tokoh
nabiah Debora (4, 4-5), “hakim2” itu tidak mempunjai tugas resmi dalam hal
peradilan. Mereka adalah terutama pedjuang dan pahlawan perang dan disebut pula
dengan istilah “penjelamat” (2, 16; 3, 9. 15), hal mana sesungguhnja lebih
bersesuaian dengan peranan , jang dimainkan mereka. Didalam sungguhnja lebih
bersesuaian dengan peranan, jang dimainkan mereka. Didalam keadaan2 darurat
mereka itu dipanggil langsung oleh Allah dan diilhami serta dibimbing oleh roh
dan kekuatanNja, untuk menjelamatkan Israil atau sebagian dari penindas2. Tokoh
Sjimsjon jang agak gandjil itu tampilseorang diri benar2 dan sama sekali
tidakdapat dinamakan pemimpin rakjatdalam arti manapun djua. Namun demikian,
iapun adalah seorang “hakim” (16, 31).dari seluruh kitab itu djelaslah kiranja,
bahwa tokoh2 tersebut tidak disebut “hakim” dalam arti kata jang lazim. Mereka
itu terutama adalah utusan Jahwe jang berkarunia, untuk bertindak atas namaNja.
Dalam banjak hal mereka sama dengan para nabi. Tetapi kalau nabi2 itu diutus
untuk berbitjara atas nama Jahwe, maka “hakim2” itu diutus untuk bertindak atas
namaNja. Karunia atau charisma inilah jang merupakan tjiri chasnja. Si perebut
kekuasaan, Abimelek tidak disebut “hakim”, tetapi “penguasa” (9, 22).
Sebaliknja, beberapa tokoh dari antara mereka itu (Gide’on, Jeftah),
memperlihatkan suatu ketjondongan jang amat kuat, untuk beralih dari panggilan
charismatisnja kesuatu kekuasaan jang stabil, hal mana dengan sendirinja
mengandung suatu peradilan jang teratur. Tetapi unsur ini rupa2nja tidak
tertjantum dalam djabatan “hakim” menurut logat kitab Hakim2. Namun demikian,
“hakim” sebagai utusan Jahwe memberikan keadilan kepada umatNja, dengan
membebaskannja dari penindasan, hal mana berarti “hukuman” bagi para penindas.
Perhubungan2 hukum antara umat dan Jahwe serta antara Israil dan musuh2nja, jang
diperkosa itu dipulihkan oleh mereka dan dalam arti demikian pengertian
“hakim”tidaksamasekali asing pada fungsi charismatis mereka. Boleh djadi dengan
alasan itu terpilihlah kata itu bagi mereka.
“Hakim2” itu tampil didjaman antara kematian Josjua’sampai ke Sjemuel. Tetapi
tokoh Sjemuel (I Sjem.. 7, 15-17) dan djuga “Eli (I Sjem. 4, 18) termasuk djaman
itu dipandang dari sudut historis dan theologis. Djuga tokoh Sjemuel pada
permulaan tampilnja (I Sjem. 11, 5-11) masih kelihatan banjak persesuaiannja
dengan hakim2 itu. Dalam diri Sjaul hasratakan keradjaan,jangdahulu sudah ada,
mendapat perwudjudannja jang tetap, sehingga dengan itupun sesungguhnja djaman
hakim2 itu berachir setjara definitif. Bagian pertamakitab Sjemuel (p. 1-12)
bolehlah dari segi kesusasteraan dipandang sebagai kelandjutan langsung dari
kitab Hakim2. Makanja ada ahli jang berpendapat, bahwa pasal2 permulaan Sjemuel
itu memang tadinja termasuk dalam kitab Hakim2 dan baru kemudian dilepaskan
daripadanja. Namun tiada bukti2 luaran bagi anggapan itu, bahwasanja kedua kitab
itu dahulu pernah merupakan satu keseluruhan.
Dalam menentukan lebih landjut djaman Hakim2 setjara chronologis, sedjauh itu
disebutkan dalam kitab tersebut, orang terbentur pada kesulitan2 jang tidak
ketjil. Ini bergandingan pula dengan kesulitan2 sematjam itu berkenaan dengan
kitab Josjua’. Kelihatannja sadja kitab itu sendiri memberikan petundjuk2 jang
amat teliti, sehingga rupa2nja sangat mudahlah menentukan lamanja waktu itu
dengan tepat. Djika semua keterangan dikumpulkan (3, 8. 11. 14. 30; 4, 3; 5, 31;
6, 1; 8, 28; 9, 2; 10, 2. 3. 8; 12, 7. 9. 11. 14; 13, 1; 15, 20; 16, 21) maka
sampailah kedjumlah 410 tahun, hal mana dibenarkan pula oleh 11, 26. Tetapi
apabila hal ini dibandingkan dengan keterangan2 lain, timbullah keberatan2 jang
tak teratasi. Meurut I Rdj. 6, 1 antara keluarnja Israil dari Mesir dan
pembangunan baitullah oleh Sulaiman ada djarak waktu 480 tahun. Sudah temasuk
didamnja waktu empatpuluh tahun digurun – pada dirinja angka ini agak di-buat2,
- djaman Josjua’, para Hakim, ‘Eli, Sjemuel, Sjaul, Dawud dan keempat tahun
permulaan pemerintahan Sulaiman. Djadi tidak mungkinlah djumlah 410 tahun itu
bagi djaman para Hakim. Orang boleh mentjoba petjahkan soal ini dengan
menempatkan beberapa Hakim pada waktu jang sama, - hal mana mungkin djuga, -
dengan menundjuk akan di-buat2nja angka2 itu, dalam mana mungkin djuga, - dengan
menundjuk akan di-buat2nja angka2 itu, dalam mana angka empatpuluh (_satu
angkatan), sebagian atau lipatnja, memainkan peranan jang menjolok. Tetapi
melalui djalan ini orang masih belum smpai kehasil jang memuaskan. Hampir semua
ahli oleh karenanja melepskan sama sekali keterangan2 kitab Hakim2, untuk lalu
membuat perhitungan mereka dengan menggunakan keterangan2 lain. Dengan
kemungkinan jang tjukup besar dapatlah diterima, bahwa keluarnja Israil dari
Mesir terdjadi sekitar tahun 1259. Naiknja Dawud diatas tachta dapat
ditanggalkan sekitar th. 1012. Djika itu dikurangi dengan empatpuluh tahun
digurun, djaman Josjua’ dan Djaman ‘Eli, Sjemuel dan Sjaul, maka djaman para
Hakim berlangsung dari sekitar th. 1200 sampai l.k. th. 1040, djadi 160 – 180
tahun lamanja.
Untuk melukiskan lebih landjut djaman sedjarah Israil tersebut maka diluar kitab
Hakim2 itu sendiri hanja tersedialah keterangan sedikit sadja. Namun keterangan
jang sedikit itu tjukuplah untuk membuat kembali suatu gambaran global jang agak
teliti. Didjaman itu ditada keradjaan2 besar jang berkuasa, sehingga dalam kitab
Hakim2 mereka tidak memainkan peranan sedikitpun. Israil datang dari gurun,
dimana suku2 itu hidup dan susunannja sama seperti semua suku bedawi. Pada waktu
tampilnja Mohammad belum banjak perubahannja dalam hal itu. Dari segi ekonomis
penghidupan digurun itu sangat miskin. Palestina, jang pada hakikatnja bukannja
salah satu tanah jang tersubur, bagi suku2 itu tampaknja seperti tanah susu dan
madu. Adapun susunan kemasjarakatan suku2 digurun terdiri atas beberapa
tingkatan dan taraf. Intipati keseluruhan dan sebetulnja satu2nja kesatuan jang
kuat ialah keluarga. Keluarga terdiri atas bapak dengan isteri2 mereka. Melihat
keturunan2nja sampai ke angkatan jang keepat adalah idam2an jang sangat
diharapkan. Bapak keluarga adalah sungguh penguasa satu2nja jang mutlak dan
kepala jang menentukan se-gala2nja. Beberapa keluarga sedemikian itu dari asal
jang sama merupakan marga, jang terikat satu sama lain agak erat karena
kesadaran akan asal jang sama itu. Achirnja beberapa marga karena asal jang sama
merupakan suku inilah sebenarnja kestuan tertinggi, jang dikenal kalangan
bedawi. Tidak djaranglah, marga2 jang sebetulnja asing, dimasukkan dalam suku
lain, tetapi dalam hal itu asal jang sama lalau di-angan2kan. Proses inipun
tidak djarang terdjadi pula di israil. Dengan pelbagai suku israil itu
terdjadilah kenjataan jang aneh, bahwasanja mereka itu merupakan kesatuan jang
lebih tinggi, bukannja berdasarkan asal-usul, melainkan agama. Mereka
dipersatukan satu sama lain karena iman jang sama akan Allah jang Esa, Jahwe,
dengan ibadah umum jang bersesuaian dengan itu dan tempat sutji pusat, jang
sungguhpun bukan satu2nja tapi toh jang utama adanja. Digurun tempat itu ialah
Kadesj. Iman jang satu dan penghajatannja itu tidak pernah membiarkan rasa
persatuan fundamentil melenjap dari tengah2 Israil.
Suku2 primitif itu merembes ke Palestina didjaman Josjua’ dan djuga sesudahnja;
hal mana lambat-laun mengakibatkan perombakan umum. Mereka menduduki sebagian
negerr itu, baik dengan djalan damai maupun dengan djalan kekerasan, chususnja
daerah2 pegunungan. Kota2 dan dataran2 untuk sebagian terbesar sementara tiu
masih berada ditangan peduduk aseli. Pendahuluan pertama kitab Hakim2
menjadjikan gambaran jang agak boleh dipertjajai dari perembesan itu. Bangsa2
Kena’an, jang ada hubungan damainja dengan suku2 Israil, memiliki kebudajaan
jang lebih tinggi tarafnja, hal mana njata sudah dari pemakaian besi. Mereka
bukan bangsa2 pengembara, melainkan penduduk jang menetap sebagai petani, jang
pusat kemasjarakatannja ialah kota dengan kebudajaan jang lebih tinggi dan
kemakmuran jang agak besar. Agama mereka polytheistis, jang bersesuaian dengan
penghidupan mereka sebagai petani. Dewa2 dan dewi2 mereka adalah dewa2
kesuburan, jang harus menanggung kesuburan tanah, manusia dan ternak. Pemudjaan
dewa-dewi itu sangat bertjorak indriawi dan erotis. Tiap2 pusat ekonomis dan
kemasjarakatan mempunjai Ba’alnja (Tuhan) sendiri dan Asjtarte (‘Asjtoret),
djodohnja. Terhadap dewa2 dan dewi2 jang konkrit dengan pemudjaan jang mewah dan
tjarut itu sangat menjoloklah Allah Israil, jang sungguhpun kuasa tapi toh agak
abstrak dan amat susila, dan jang lebih sesuai dengan hidup keras digurun jang
kersang daripada dengan hidup jang indah-sedap ditanah pertanian dan kemewahan
kebudajaan-kota.
Israil harus mengikat perang lawan situasi tiu. Dari segi militer dan
kebudajaan, mereka djauh terbelakang. Djarang sekali mereka berhasil menduduki
kota2 dan menetap disitu. Dan djika mereka mula2 berhasil, tidak djarang mereka
tak lama kemudian dipukul mundur oleh penduduk aseli. Namun demikian, dimanapun
djuga ada kesempatan, suku2 Israil itu menetap disitu setelah beberapa lama
mengembara. Hal itu per-tama2 membawa akibat ini, bahwasanja persatuan antara
suku jang toh sudah rumit itu diperlemah lagi dan didjaman para Hakim tidak
djarang berubah mendjadi persaingan, perengketaan dan peperangan antara mereka
sendiri. Karena kurang kukuhnja persatuan itu, maka tidak djaranglah penduduk
aseli berhasil menaklukkan salah satu suku Israil, sedangkan suku2 dari urun
dapat meluaskan pendjarahannja, dengan tak banjak perlawanan, sampai ke-daerah2
jang diduduki Israil. Kesulitan2 terbesar datang dari pihak Felesjet. Orang2
Felesjet menetap di-pantai2 Kena’an, kira2 waktu Israil merembes dari timur.
Dari sana mereka merembes kepedalaman dan dengan sendirinja berbentrok dengan
suku2 Israil. Dalam djaman para Hakim jang belakangan orang2 Felesjet jang lebih
unggul dalam bidang militer menaklukkan sebagian besar wilajah Israil. Riwajan
Sjimson dan Sjemuel memberikan buktinja jang djelas. Karena kenjataan,
bahwasanja Israil berubah dari suku 2 pengembara mendjadi petani2 tetap,
haruslah djuga terdjadi perubahan total dalam hal susunan masjarakatnja. Tentu
sadja hal ini terdjadi dalam prosed lambat-laun, tetapi proses ini toh
mendapatkan suatu kemadjuan jang mentjelakakan. Israil melihat susunan jang
disesuaikan dari penduduk aseli. Pusat persatuan bukannja marga, melainkan kota,
tempat ber-bagai2 marga tinggal ber-sama2. Karena hubungan Israil dengan
penduduk negeri lebih bertjorak damai daripada perang, maka terdjadi djuga
pertjampuran antara Israil dan orang2 Kena’an, lebih2 di-kota2. Kisah Abimelek
dalam kitab Hakim2 adalah gambaran jang djelas dari perubahan susunan itu.
Abimelek bukanlah seorang Sjeik atas suatu marga atau suku, melainkan radja
suatu kota, dimana orang2 Israil tinggal bersama dengan orang2 Kena’an.
Akan tetapi dalam bidang keigamaanlah Israil hanja dapat bertahan dengan banjak
susah-pajah dan memelihara hidupnja sendiri. Agama dan ibadah bangsa2, dengan
mana mereka berhubungan itu, mempunjai pengaruh jang tak terelakkan atas suku2
primitf itu. Betul mereka tak akan melepaskan Allah mereka sendiri: Jahwe tetap
adalah Allah segala suku Israil. Tetapi Ba’al2 serta ‘Asjtoret2 setempat, jang
telah memberkati umat mereka sendiri, tidak boleh dimurkakan, karena suku2
pengembara jang mendjadi penetap itu harus memperolah penghidupannja dari tanah
jang sama djua. Budjukan, utnuk mengharapkan kesuburan dari dewa2 itu, terlalu
besar. Maka menurut kenjataannja sampailah sebagian Israil pergi meudja Ba’al2
dan ‘Asjtoret2 disamping dan bersama dengan Allah mreka. Mereka mangambil-alih
ibadah penduduk aseli dan malahan menirunja dalam ibadah mereka sendiri kepada
jahwe. Di-mana2 timbullah pertjampur-adukan keigamaan, jang hendak
memperdamaikan Ba’al dengan Jahwe. Betul, Jahwe adalah jang terbesar dari antara
dewa2, jang dimintai pertolongan didalam keadaan darurat, tetapi bagi keperluan2
hidup sesehari Ba’al dan ‘Asjtoret lebih pentinglah adanja. Masih lama Jahwe
harus berdjuang lawan Ba’al, sebelum Ba’al dikalahkan setjara definitif.
Ditengah syncretisme jang umum itu tidak pernahlah Jahwe kehilangan pemudja2
sedjatiNja. Mereka itu memelihara tetap berkobarnja njala-api agama jang murni,
sekalipun itu sering kali tertimbun abu. Tiap2 kali keadaan darurat sampai
kepuntjaknja, maka tampillah dari kalangan mereka itu orang2 jang menjelamatkan
baik agama maupun bangsa dari keruntuhan. Dari tengah2 mereka itu dipanggillah
para Hakim, jang selain pahlawan perang djuga senantiasa raksasa2 dalam iman
jang utuh kepada Jahwe adanja. Tetapi pemudja2 Jahwe jang sedjati, seperti
Gide’on, Jeftah dan Sjimson-pun tidak selalu tahu menark kesimpulan2 susila dari
iman mereka.
Sebab keruntuhan keigamaan dibarengi dengan anarki susila jang tidak kurang
ketjilnja. Dalam hal inipun djaman para Hakim dalam sedjarah Israil itu
merupakan “abad besi” pula. Walaupun senantiasa ada suatu djarak antara iman
keigamaan dan penghajatan susilanja. Namun tidak pernahlah di Israil djarak tadi
sebesar dan kurang diinsjafi seperti didjaman itu. Tambahan kedua pada kitab
Hakim2, jang melukiskan kebedjatan susila Gibe’on, jang dilindungi satu suku
tertentu, sungguhpun suatu keterlaluan, namun menunjdjukkan suatu gedjala bagi
keseluruhannja. Para Hakim sendiri bukanlah selalu tjontoh kesusilaan, hal mana
bagi kita mungkin mendjadi batu sandungan. Djika sudah demikian halnja dengan
pembesar2, maka dapatlah sedikit banjak dibajangkan, bagaimana keadaannja dengan
rakjat djelata. Gambaran total djaman para Hakim adalah gambaran keprimitifan,
kebiadaban, keliaran dan anarki jang besar, dalam mana ikatan suku2pun hanja
sangat lemah adanja. Kendati demikian, arus-bawah jang kuat dari iman akan Jahwe
tetap ada dan didjaman itupun tidak sampai lenjap. Dalam saat2 berkarunia arus
itu sampai kepermukaan, untuk membuat Israil ttetap jakin akan kewadjiban2
susilanja maupun atas keastuan fundamentilnja dalam Allah jang kudus, Jahwe.
Dari djaman tersebut kitab Hakim2 memelihara sedjumlah petilan bgi angkatan
kemudian, jakni kisah jang pandjang atau pendek sekitar keenam tokoh, jang oleh
karenanja lazim disebut “Hakim2 besar”, jaitu ‘Otniel, adik Josjua’, Ehud, Barak
(Debora_, Gide’on, Jeftah dan Sjimsjon. Di-tengah2nja tersisiplah tjatatan2 jang
santat singkat tentang enam tokoh lainnja, “Hakim2 ketjil”, jaitu Sjamgar, Tola’
Jair, Ibsan Elon dan Abdon, hal mana sesungguhnja tidak begitu djelas, apa
mereka itu menurut sedjarah termasuk dalam djaman itu. Kisah pandjang-lebar
tentang Abimelek adalah kelandjutan dan sematjam timbalan terhadap kisah
Gide’on. Adapun Hakim2 besar itu tidak boleh dipandang begitu sadja sebagai
pahwalan2 bangsa, sebab njaris dapat dikatakan adanja suatu “bangsa”, tetapi
Israil lebih merupakan suatu kumpulan suku2. Djadi, mereka itu lebih tepat
dikatakan pahwalan2 suku atau marga, jang perbuatan2 kedjajaannja di-sandjung2.
Lepas dari bingkai jang merangkum tokoh2 itu dalam kitab Hakim2, maka njatalah
mereka itu hanja sematjam pahlawan setempat sadja. Tiba2 mereka itu tampil
kedepan ditengah suku ini atau itu lawan bahaja2 jang mengantjam dari luar atau
penindasan dari pihak penduduk Kena’ an. Mereka menjerukan perang pembebasan,
jang kemudian mereka selesaikan dengan hasil jang gemilang. Kadang2 beberapa
suku lainnja, jang menghadapi bahaja atau penindasan jang sama, menggabungkan
diri dengannja. Ehud adalah pahlawan suku Binjamin; ‘Otniel melakukan tugas itu
bagi beberapa marga Juda dibagian selatan negeri itu. Debora dan Barak memimpn
pemberontakan suku Efraim, jang diikuti suku2 Naftali, Zebulun, Isakar, Binjamin
dan Menasje, sedangkan suku2 Rubed, Gad dan Asjer tetap lepas tangan. Gide’on
adalah pahlawan marga Abi’ezer dari suku Menasje, jang berhasil mengikut-
sertakan suku2 Asjer, Zebulun, dan Naftali dalam perang pembebasar. Isakar
mempunjai pahlawannja dalam diri Tola’, sedang Menasje dapat membaggakan Jair.
Gilead (Gad) diseberang timur Jarden me-mudji2 Jeftah dan suk Dan menurunkan
raksasa Sjimsjon jang terpentjil, jang meluaskan petulangan2nja sampai kewilajah
Juda. Efraim mempunjai tokoh sekundernja dalam diri ‘Abdon disamping Debora dan
Barak. Suku Juda sama sekali tidak diketemukan dalam kitab Hakim2, tetapi kitab
Sjemuel akan mengisahkan pahlawan, jakni Dawud, jang akan mengetjilkan semua
tokoh lainnja.
Kisah jang pandjang atau pendek itu merupakan bagian pokok kitab tersebut (5, 6-
16, 31). Itu didahului fua pendahuluan (1, 1-2, 5; 2, 6-3, 5) dan keseluruhannja
dikuntji dengan dua tambahan jang satu tentang tempat sutji suku Dan (17) dan
jang lain mengisahkan keruntuhan suku Binjamin sebagai hukuman atas kedurdjanaan
kota Gibe’a (19-21). Di-tengah2 terdapat pula suatu penahuluan (10) jang
mendahlui kisah2 tentang Jeftah dan Sjimsjon. Tiap2 kisah hakim selandjutnja
ditempatkan dalam rangka jang serupa, jang perumusannja hanja merupakan ulangan
singkat dari gagasan, jang dirumuskan dengan pandjang-lebar dalam pendahuluan
adjaran jang kedua (3, 7.11; 4, 12.30; 4, 1-3.23.24; 5, 51c; 6, 1-2.7-10; 10, 6-
15; 12, 7; 13, 1; 15, 200; 16, 31b). dari itu njatalah, bahwa kisah2 tersebut
gunanja untuk mendjelaskan gagasan jang dirumuskan dalam pendahuluan.
Dari ichtisar ini djelaslah sudah, bahwa kitab Hakim2 tersusun dari ber-bagai2
unsur, jang terang berbeda satu sama lain. Kisah itu diambil dari sumber2 jang
lebih kuno dan baru diolah mendjadi suatu kesatuan oleh penjuun dan lagi seakan2
dibubuhi dennga beberapa tjatatan. Kisah2 itu diluar dan sebelum tersusunnja
kitab tersebut sudah ada tersendiri. Kisah2 itu sudah beredar didalam tradisi
suku masing2, dan ketika achirnja dimasukkan dalam kitab, maka kisah2 itu
hampir2 tidak dioleh lebih landjut, tapi diambil begitu sadja sebagaimana
adanja. Pastilah kisah2 itu sudah lama ada didalam tradisi lisan se-mata2,
sebelum kemudian dituliskan. Tetapi sangat boleh djadi kisah2 itu bukan baru
dalam kitab Hakim2 itu terdapat bentuk tulisannja. Hanja tentang tjatatan2
ketjil mengenai hakim2 ketjil bolehlah kiranja diterima, bahwa itu dirumuskan
oleh penjusun kitab itu, tetapi toh berdasarkan tradisi2 jang samar2. Djuga
pendahuluan pertama jang bertjorak historis itu, se-tidak2nja mengenai isinja,
berasal dari tradisi. Tetapi haruslah diterima, bahwa kisah2 itu sendiri
terdjadi tak lama semudah peristiwa2 jang dikisahkan itu sendiri an segera
mendapat bentuknja jang kurang lebih tetap. Dapat djuga dikirakan, bahwa didalam
tradisi lisan itu pelbagai kisah tentang orang jang sama dan tentang peristiwa
jng sama ditjampuradukkan.
Asal kuno kisah2 jang tidak dapat disangkal ini merupakan djaminan pula bagi
nilah sedjarahnja. Kalaupun dalam tradisi itu ditambahkan beberapa unsur, -pun
pula unsur2 jang lebih bertjorak fokloristis, namun intipati dan perintjian2
umum kisah itu bersesuaian dengan kenjataan. Disini kita tidak bersua dengan
dongengan, legenda atau mythos, melainkan dengan peristiwa2 dari masa kono
Israil. Betul, kisah2 tu terlalu fragmentaris tjoraknja, untuk dapat
menggambarkan kembali djaman para hakim dengan segala hal-ihwalnja jang ketjil2
tetapi bagan2 it mempunjai dasar jang sungguh2.
Pada umumnja disetudjui, bahwa kitab Hakim2 dalam bentuknja jang sekarang tidak
terdjadi dan tidak tersusun sekali djadi. Kitab itu boleh dikata berkembang
setjara ber-angsur2. dengan itu tidaklah dimaksudkan, bahwa kisah2 itu tadinja
sudah ada sendiri2, melainkan bahwa pengumpulannja berdjalan dalam beberapa
tingkatan. Tetapi dalam menentukan lebih landjut tingkatan masing2, timbullah
pendapat jang ber-lain2an antara para ahli. Ada ahli, jang berpangkal pada
tradisi lisan sampai kelima tingkatan. Tingatan2 itu tidak selalu redaksi jang
ber-turut2, tetapi djuga kumpulan2 jang sedjadjar djalannja dan kemudian dilebur
djadi suatu kesatuan. Lebih umum ialah pendapat bahwasanja tjukup dua redaksi
sadja, untuk sampai kebentuknja jang sekarang. Redaksi pertapa agaknja memuat
kisah2 dari 5, 12-9, 57 bersama dengan pendahuluan jang bertjorak historis, 1,
1-2, 5. redaksi kedua, jang lebih bersifat theologis, telah menambahkan jang
lain2 kepada redaksi pertama itu dan memperkaja bahan2 jang sudah ada dengan
keterangan2 baru. Dari pengumpul belakangan ini berasallah pendahuluan kedua (2,
6-3, 6) dan kedua tambahan (17-18; 19-21). Menurut beberapa ahli kedua tambahan
itu merupakan gantinja I Sjem. 1-12, jang katanja mula2 termasuk dalam kitab
Hakim2. Tetapi rupanja tiada tjukup alasan, untuk menerima hubungan dengan I
Sjem itu. Selandjutnja dapat dikirakan djuga adanja imbuhan2 ketjil dikemudian
hari, jang tidak dapat merubah sedikitpun pada keseluruhannja.
Djuga soal, bila kitab itu mendapat bentuknja jang definitif, djawabja sangat
ber-beda2. sebagaimana halnja dengna kitab Jasjua’, demikian kitab Hakim2 oleh
banjak ahli di-hubung2-kan dnegan Pentateuch (kelima kitab Musa), sedangkan
dewasa ini lebih banjak ahli meng-hubung2kannja dnegan kitab Ulangtutur. Soal
ini sudah dibitjarakan berkenaan dengan kitab Josjua’, dan apa jang dikatakan
disana dapatlah diulang disini. Lebih baiklah kiranja dilepaskan sadja dari
karja2 lainnja. Untuk menanggalkan kibtab itu melalui djalan lain. Tak
seorangpun menjangkal, bahwa kitab Hakim2pun didukung oleh gagasan2 keigamaan
jang sama seperti Ulangtutur, tetapi hal ini tidak berarti dengan mutlaknja,
bahwasanja kitab tersebut bergantung dari padanja mengenai waktu terdjadinja.
Dari sebab itu lebih baiklah penentuan waktu itu didasarkan atas keterangan2
dari kitab itu sendiri. Dari 18, 30-31 agaknja dapat disimpulan, bahwa si
redaktor menjusun karjanja sesudah tahun 733 atau 722, keitik keradjaan utara
Israil diangkut kepembuangan oleh Asyria. Tetapi tidak sedikitlah ahli jang
menganggap ajat2 tersebut sebagai imbuhan belakangan, sendangkan ahli2 lainnja
mau memperbaiki teks itu, sehingga bukan penduduk negeri itu melainkan peti
Jahwelah jang diangkut ketempat lain, hal mana di-hubung2kan dengan
penghantjuran tempat sutji di Silo didjaman Sjemuel oleh orang2 Felesjet. Rumus
jang di-ulang2 sadja dalam bagian2 terachir: “tiada radja di Israil” (17, 6; 18,
15; 19, 1; 21, 25) sebagai pendjelasan adanja kebedjatan susila, mengandaikan
pengetahuan tentang keradjaan di Israil, malahan sebagai faktor tatatertib dan
kesedjahteraan. Tetapi keradjaan belakangan dalam hal itu ternjatalah bukan
suatu berkah, karena ketika itu terutama dikeradjaan utara tidak djaranglah
keradjaan itu mendjadi sebab musababnja keruntuhan keigamaan dan susila.
Redaktor terachir, jang membuat tjatatan2 itu, mestilah hidup pada awal
keradjaan, jang mengachiri kekatjauan djaman para hakim. Djadi didjman Sjaul
atau Dawud, sekitar th. 1050-950. bahwasanja dalam kitab itu ada ketjondongan2
anti-radja (Gibe’on, Abimelek) dapatlah diterangkan dari sumber2 jang digunakan,
dan djustru pda awal keradjaan ketjondongan2 serupa itu masih lama berpengaruh.
Pun kenjataan, bahwasanja kisah2 itu dilandjutkan dengan djiwa jang sama dalam
kitab Sjemuel dapatlah dipandang sebagai suatu pembenaran penanggalan tersebut
diatas. Bagaimanapun djua, pendapat jang hendak menanggalkan kitab itu (dalam
redaksinja jang pertama) sesudah terdjadinja Ulangtutur sekitar tahun 632 atau
(dalam redaksinja jang kedua) sedudah waktu pembugann tidak mempunjai alasan
tjukup, untuk diterima sebgai pasti. Untuk memebrikan penanggalan kemudian,
dikemukakan pula ktjaman terhadap tempat sutji di Dan, salah satu tempat sutji
dikeradjaan utara, kritik mana terselip dalam pasal 17-18. Tetapi tjelaan
tersebut sudah tjukup didjelaskan dnegna kenjataan, bahwa tempat sutji tersebut
didirikan oleh orang2 jang sama sekali tak berwenang dan setjara se-wenang2 dan
tanpa petundjuk satupun dari pihak Jahwe. Djuga didjaman kuno sekali tjara
serupa itu tidak dapat dibenarkan oleh kalangan2 agama, dan kisah itu pada
dirinja menerangkan keruntukhan besar dalam bidang keigamaan didjaman para
hakim. Dalam seluruh kitab itu tidak terdapat petundjuk2 adanja perpisahan
atanra Juda dan keradjaan-utara, tetapi Israil malahan dipandang sebagai suatu
kesatuan. Dan hal ini njatalah dapat dimengerti didjaman sebelum perpisahan.
Betul dapatlah diterima, bahwa belakanganpun masih ada perubahan dan imbuhan
ketjil2an, karena tiada kitab satupun dari Perdjandjian Lama dipandangn sebgai
sesuatu, jang tidak boleh diubah lagi. Sikap tersebut baru dari waktu djauh
belakangan.
Pada hakikatnja sukarlah, jah malahan tidak mungkinlah menjebut nama2 para
penjusun kitab Hakim2. Dikalangan Jahudi dan djuga dikalangan Kristern lamalah
Sjemuel dianggap sebagai pengarangnja dan itupun oleh beberapa ahli masih
dianggap mungkin. Tetapi achirnja kesemuanja itu hanja bersandarikan perkiraan
sadja dan tetap sukar dibuktikan. Maka itu lebih baiklah tidak menebut nama2
sadja. Satu2nja, jang dapat diketahui dari kitab itu sendiri. Ialah bahwasanja
para penjususnnja adalah orang2 jang berkeigamaan, jang hidup dari gagasan2 jang
djuga tampak dalam kitab Ulangtutur. Si atau para penjusun haruslah ditjari
dikalangan Levita dan imam. Lebih dari itu tidak dapat.
Gagasan-pokok keigamaan, untuk mana seluruh kitab itu telah ditulis, ialah
keadilan Allah jang berbelaskasihan. Semua kisah dimaksudkan, untuk
memperlihatkan dalam bentuk jang konkrit, bahwa betapapun djua tidak-setianja
umat kepada Jahwe, Allah toh tidak pernah melupakan umatNja. Segala kedjadian
ditudjukanNja, untuk memperingatkan umat akan kesetiaan, agar dnegna itu
terdjamnlah kebahagiaan dan kesedjahteraan. Bahkan terus adanja bangsa2 kafir di
Kena’an adalah suatu tanda kerelaan Jahwe. Rangka jang berulang kembali dari
kitab itu ialah sbb.: Umat meninggalkan Jahwe, bukannja per-tama2 karena
tingkah-laku susilanja, melainkan lebih2 karena ketidak-setiaan keigamaan, jang
berupa pemudjaan serta kepertjajaan pada berhala2 negeri itu. Ketidak-setiaan
ini dihukum Jahwe dengna penindasan oleh pihak musuh. Tetapi hkukman itu tidak
dimaksudkan untuk menolak umat, melainkan lebih untuk menginssjafkan umat agar
berbalik kepada Jahwe. Apabila umat berpaling dari berhala dan berbali k kepada
Jahwe, maka Jahwe segera mengutus seorang penjelaman. Si penjelamat tidak
mengambil inisiatif, melainkan dipanggil oelh Allah, untuk memenuhi tugas
penjelamatan atas namaNja. Bahwasanja Jahwe jang bertindak, sangatlah djelas
digambarkan oelh riwajat Gide’on, jang harus mengurangi lasjkarnja sampai
djumlah jang se-ketjil2nja (7, 1-8), jang maksudnja dirumuskan dengan tegas (7,
2). Kebebasan dan kesedjahteraan berlangsung selama mat tetap setia. Apabla umat
kemudian tidak setia lagi, maka proses jang sama berulang kembali. Tetapi dalam
kitab Hakim2 samasekali tidak dinjatakan, bahwa ketidak-setiaan, jang ber-ulang2
itu akan memuntjak djadi penolakan definitif,sebagaimana jang dinjatakan dlam
kitab Radja2. Sebaliknja; kendati ketidaktetapan umat, kepertjajaan akan Jahwe
dan harapan akan kerelaannNja, adalah faktor jang tetap: kerelaan Allah adalah
lebih besar daripada kedurhakaan umat. Kepertjajaan ini adalah kekuatan jang
menjelamatkan dan diperorangkan dalam tokoh2 para hakim. Mereka tidak ragu2
mengikuti panggilan Jahwe, karena mereka tahu, bahwa Jahwe adalah
berbelaskasihan dan selalu akan mengampuni kedjahtan umat jang bersesal dan akan
melepaskannja dari penindasan .itupun jang dipudji oleh surat kepada orang2
Hibrani pada tokoh2 tersebut. (Hbr. 11, 32). Dan inilah artinja jang tetap dari
sedjarah para hakim, bahwasanja kepertjajan akan Allah serta kerelaanNja
mendatangkan penjelamatan dalam diri Hakim jang terbesar. Penjelamat definitif
dari segala penindasan dan bahkan dari akarnja, dosa, ialah: Jesus Kristus.
Tetapi sedjarah para hakim adalah djuga suatu peringatan jang tetap akan sesal
dan tobat, sjarat bagi penebusan dan penjelamatan.